Minggu, 20 Februari 2011

Gugurnya Sumantri

Prabu Arjunasasrabahu adalah raja yang sangat mencintai dan memanjakan  istri-istrinya, terutama permaisuri Dewi Citrawati. Apa saja yang menjadi keinginan Dewi Citrawati selalu berusaha untuk dipenuhinya. Suatu ketika Dewi Citrawati menyampaikan satu keinginan yang rasanya agak mustahil dapat terpenuhi oleh manusia lumrah di Marcapada, atau bahkan Dewapun sekalipun. Dewi Citrawati ingin mandi bersama 800 orang selirnya di sebuah sungai atau danau. Keinginan yang aneh inipun berusaha di penuhi oleh Prabu Arjunasasrabahu. Dengan disertai Patih Suwanda, dan dikawal beberapa ratus orang prajurit, Prabu Arjunasasrabahu membawa Dewi Citrawati dan 800 orang selirnya lengkap dengan para dayangnya masing-masing pergi ke sebuah dataran rendah, dimana ditengahnya mengalir sebuah sungai. "Dinda Patih Suwanda, aku akan bertiwikrama tidur melintang membendung aliran sungai agar tercipta danau buatan untuk tempat mandi dan bercengkrama dinda Dewi Citrawati dan para selir. Selama aku tidur bertiwikrama, keselamatan dinda Citrawati dan para garwa ampil, sepenuhnya aku serahkan pada dinda Patih Suwanda." kata Sang Prabu.

Sasrabahu kemudian bertiwikrama, yaitu mengubah tubuhnya menjadi rasaksa yg amat besar, tidur melintang membendung aliran sebuah sungai. Dengan tubuh sebesar bukit dengan panjang hampir mencapai 500 meter, dalam waktu tidak terlalu lama, lembah itu dalam waktu singkat berubah menjadi sebuah danau buatan yang sangat luas. Dengan suka cita Dewi Citrawati terjun kedalam air, diikuti oleh para selir dan para dayang. Mereka berenang kesana-kemari, bercanda, bersuka cita penuh kegembiraan dan gelak tawa. Pemandangan yg terjadi sungguh unik, dimana seribu lebih wanita cantik bertubuh seksi dalam keadaan polos tumplek uyel (menyatu saling bergerak tak karuan) di dalam air yang jernih, dengan berbagai tingkah polah menggemaskan.

Luapan air sungai yang terbendung semakin lama semakin meninggi, meluas melebar menggenangi perbukitan dan daerah sekitarnya. Mengalir deras ke daratan yang lebih rendah, laksana air bah melanda persawahan dan perbukitan. Kejadian ini sama sekali tak disadari oleh Prabu Arjunasasrabahu, karena ia dalam keadaan
tidur berTiwikrama. Sementara itu diantara kedua betis raksasa jelmaan Arjunasasrabahu terdapat daerah kering, dan disana dibangun sebuah pesanggrahan darurat untuk tempat istirahat atau berganti pakaian Dewi Citrawati dan para selir berikut dayang-dayangnya.

Tak terduga luapan air bengawan yang berbalik arah ke arah hulu, melanda lembah dan perbukitan, melanda pula daerah perbukitan Janakya di wilayah negara Sakya, dimana Rahwana, raja Alengka beserta para hulubalangnya sedang membangun pesanggrahan. Dalam sekejap, bangunan pesanggrahan Rahwana ludes dilanda air bah. Rahwana dan para hulubalangnya yang bisa terbang, segera terbang menyelamatkan diri ke puncak gunung, diikuti oleh para raksasa pengikutnya berlari-lari cepat mendaki bukit yang lebih tinggi. Namun banyak pula diantara para raksasa yang tidak sempat menyelamatkan diri, mati hanyut dilanda air bah.

Kejadian tersebut menimbulkan kemarahan Rahwana. la segera menyuruh Detya Kala Marica, abdi kepercayaarmya untuk mencari penyebab bencana itu. Dalam waktu singkat Kala Marica telah kembali menghadap Rahwana, melaporkan bahwa yang menyebabkan meluapnya aliran sungai dan menghancurkan pesanggrahan adalah akibat ulah Prabu Arjunasasrabahu, raja negara Maespati, yang bertiwikrama menjadi raksasa dan tidur melintang di muara sungai.

Rahwanapun mencari tahu siapa gerangan Arjuna Sasrabahu itu. Dari pamannya, ia mendengar perihal kesaktian Raja Maespati itu. Ia juga menjadi tahu bahwa permaisuri dan para selir Sasrabahu bukanlah wanita sembarangan, tetapi wanita-wanita cantik putri para raja taklukan yang secara sukarela tunduk pada kekuasaan negara Maespati. Namun dari kesemua para putri itu, yang kecantikannya paling menawan adalah sang permaisuri, Dewi Citrawati. Beliau adalah putri Magada yang pernah menjadi rebutan ribuan raja karena diyakini sebagai penjelmaan Bhatari Sriwidawati.

"Hemmm, kebetulan! Aku akan rebut Dewi Citrawati dari tangan Arjunasasrabahu!" kata Rahwana lantang. la kemudian memerintahkan para pungawanya untuk menyiapkan pasukan perang, menggempur negara Maespati. Dengan sikap hati-hati Patih Prahasta berusaha menasehati dan mengingatkan Prabu Rahwana akan akibat buruk dari peperangan tersebut. Diingatkan pula oleh Patih Prahasta, akan kesaktian dan keperwiraan Prabu Arjunasasrabahu dan patih Suwanda yang sulit tertandingi oleh lawan siapapun, termasuk Prabu Rahwana sendiri. Namun Rahwana tetap kukuh dengan kemauannya. "Di jagad raya ini tidak ada seorangpun titah yang dapat mengalahkan Rahwana. Inilah janji Dewa Syiwa kepadaku!" kata Rahwana lantang.

Peperangan tak dapat dihindarkan dan berlangsung dengan seru antara pasukan Alengka sebagai penyerang dan pasukan Maespati yang berusaha mempertahankan kehormatan dan kedaulatan negaranya. Korbanpun berjatuhan, bergelimpangan Ribuan raksasa dipihak Alengka dan ribuan prajurit di pihak Maespati. Ketika banyak para senopati perang Alengka mati dalam peperangan dan pasukan terdesak mundur, Rahwana akhirnya maju perang sendiri menghadapi para senopati perang Maespati. Rahwana merubah wujud menjadi raksasa sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan dua puluh yang masing-masing tanganya memegang berbagai jenis  senjata. Sepak terjang Rahwana sangat menakutkan. Dalam sekejap ratusan prajurit Maespati menemui ajaInya. Untuk menghadapi amukan dan sepak terjang Rahwana, beberapa raja yang menjadi senopati perang Maespati mencoba menghadangnya. Namun bagaimanapun saktinya mereka, mereka bukantah tandingan Rahwana. Para raja itu akhirnya gugur ditangan Rahwana.


Menyaksikan hal itu, akhirnya Patih Suwanda/ Sumantri maju sendiri memimpin pasukan Maespati. Dengan tata gelar perang "Garuda Nglayang" pasukan Maespati bergerak cepat, memukul mundur dan memporak porandakan pasukan Alengka. Sepak terjang Patih Suwanda sangat trengginas. Tak satupun para Senopati perang Alengka, baik Tumenggung Mintragna, Karadusana, Trimurda, juga patih Prahasta yang mampu menandingi kesaktian Patih Suwanda. Mereka lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Beberapa putra Rahwana antara lain Kuntalamea, Trigarda, Indrayaksa dan Yaksadewa yang nekad berperang mati-matian melawan Patih Suwanda, akhirnya mati juga di medan perang.

Ketika akhirnya Rahwana bertarung langsung dengan Sumantri, berkali-kali Patih Suwanda berhasil memenggal putus kepala Rahwana. Namun Rahwana selalu dapat hidup kembali dari kematian, dalam sekejap, kepala yg tertebas dari tubuhnya langsung menyatu kembali. Hal ini berkat Ajian Rawarontek, ajaran dan pemberian Prabu Danaraja (Prabu Danapati), raja negara Lokapala terdahulu yang masih kakak Rahwana satu ayah, putra resi Wisrawa.

Patih Suwanda mulai kehilangan akal dan kesabaran menghadapi kesaktian Rahwana. Sementara itu di Sorgamaya, arwah Sukasrana, adik Patih Suwanda, masih bergentayangan melihat pertempuran tersebut. Ia melihat inilah saat yang tepat untuk berbuat sesuatu pada kakaknya, dan memenuhi janjinya unluk bersama-sama arwah kakaknya, Sumantri (Patih Suwanda) pergi ke Sorgaloka. Dengan cepat arwah Sukasrana menyatu hidup dalam taring Rahwana. Perang tanding pun kembali berlangsung antara Patih Suwanda melawan Rahwana. Patih Suwanda telah berketetapan hati hendak mencincang habis kepala Rahwana agar tidak bisa hidup kembali. Karena itu tatkala kepala Rahwana lepas dari lehernya terbabat senjata cakra, Patih Suwanda segera memungut kepala Rahwana. Tak terduga, saat ia memegang rambut kepala Rahwana, tanpa disadari tubuh Rahwana menyatu kembali berkat daya kesaktian Aji Rawarontek. Begitu kepalanya menggeliat dan membuka mata, berkat pengaruh arwah Sukasrana, tangan Rahwana langsung mengangkat tubuh Patih Suwanda dan menggigit lehernya hingga putus. Saat itu juga Patih Suwanda menemui ajalnya.

Arwahnya berdampingan dengan arwah Sukasrana terbang menuju ke sorgaloka. Namun, keinginan Sukasrana untuk bisa hidup berdekatan dalam kasih sayang bersama Sumantri di alam fana belum terpenuhi. Karena itu kelak dikemudian hari Sukasrana akan menitis pada seorang resi berujud rasaksa, yg kemudian memiliki menantu satria rupawan bernama Narasoma/ Salya. Namun, kembali, titisan Sumantri ini 'menolak' berdampingan dengan titisan Sukasrana. Yg bisa dilakukan sang Resi sebagai ekspresi kasih sayangnya pada sang satria rupawan itu hanyalah menganugerahkan kesaktian Candrabairawa. Ah, demikian berharganyakah kerupawanan badani dan ketampanan wajah bagi seorang Sumantri untuk merasa hina hidup berdampingan dengan sang buruk rupa...?

Segera setelah Sumantri alias Patih Suwanda gugur di tangan Rahwana, Sasrabahu yg mendapat laporan berita duka itu segera bangun dari tidur dan tiwikramanya. Dalam kemarahan, ia meminta para raja-raja pengikutnya untuk segera mengumpulkan sisa-sisa laskar Maespati yang bercerai berai, dan dia sendiri yang akan memimpin pasukan Maespati menghadapi Rahwana.

Di tengah perjalanan, Prabu Arjunasasrabahu ditemui oleh Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa yang sengaja menghadang langkah Prabu Arjunasasrabahu atas perintah Bhatara Guru. "Cucu Ulun, Arjunasasrabahu. Mengemban perintah Hyang Jagad Pratingkah, Ulun menghadang lakumu yang akan menggelar perang menghadapi Rahwana. Titah Hyang Jagadnata. Ulun harus membatalkan perang melawan Rahwana. Beri kesempatan Rahwana untuk hidup lebih lama. Ulun tahu, Rahwana titah maha sakti yang sepak terjangnya direstui Hyang Siwa dan Durga. Dalam garis dewata, Rahwana bukan tandinganmu !" kata Bhatara Narada kepada Prabu Arjunasasrabahu.

"Bukan maksud hamba untuk menentang perintah Hyang Jagad Pratingkah. Pukulun Kanekaputra tahu, Rahwana telah membunuh adik hamba, Patih Suwanda. Karena itu perbuatan Rahwana harus dibalas.kata Prabu Arjunasasrabahu. 'Ulun tahu akan kecintaanmu terhadap Patih Suwanda, dan dendam ulun pada Rahwana. Tapi saat ini Rahwana belum saatnya mati. Takdir dewata, ia memang harus mati melalui tanganmu, tapi bukan pada penitisanmu yang sekarang, melainkan pada penitisanmu yang akan datang." kata Bhatara Narada. "Baik, hamba berjanji, hamba tidak akan membunuh Rahwana. Hamba hanya akan menghukumnya, memberi pelajaran agar dapat mengendalikan tindak angkara murkanya. Karena itu perkenankanlah hamba melanjutkan perjalanan, menggelar perang menghadapi Rahwana dan laskar Alengka !" jawab Arjunasasrabahu.

Demkianlah, perang sampyuh tak bisa dihindarkan lagi antara prajurit Maespati melawan laskar raksasa negara Alengka. Dengan tata gelar perang "Garuda Nglayang" sebagaimana yang diterapkan oleh Patih Suwanda, pasukan Maespati di bawah pimpinan Prabu Arjunasasrabahu berhasil memukul mundur dan memporakporandakan laskar raksasa Alengka. Tak terbilang jumlahnya, mungkin ribuan laskar Alengka mati di medan peperangan. Mengetahui pasukannya lumpuh bercerai berahi, akhirnya Rahwana sendiri yang maju perang menghadapi Prabu Arjunasasrabahu. Nasehat Patih Prahasta agar Rahwana menank mundur sernua
pasukan dan menyatakan kalah, ditolak mentah-mentah oleh Rahwana. Rahwana merasa yakin, dengan aji Rawarontek yang dapat menolongnya luput dari kematian, ia akan dapat mengalahkan dan membunuh Prabu Arjunasasrabahu, sebagai mana ia mengalahkan dan membunuh Patih Suwanda.

Saat Rahwana berhadapan langsung dengan Sasarabhu, dalam waktu singkat Sasrabahu segera melepaskan panah Trisula, yang begitu melesat di udara pecah menjadi ratusan anak panah, yang dengan cepat memangkas putus kesepuluh kepala Rahwana, keseratus tangan dan kakinya. Potongan-potongan kepala, tangan, kaki dan gembung Rahwana jatuh berserakan di atas tanah. Namun berkat daya kesaktian Aji Rawarontek, begitu menyentuh tanah potongan-potongan tubuh itu secepatnya bergerak menyatu, dan Rahwana pun hidup kembali. Begitulah terjadi berulang kali.

Akhirnya, Sasrabahu dengan kesaktianya menangkap dan mengikat tubuh Rahwana dengan rantai. Kemudian, tubuh yang sudah tak berdaya itu diikat pada belakang kereta perangnya dan ditarik mengelilingi alun-alun negeri Maespati sampai beberapa kali putaran, kemudian ditarik menyusuri jalan-jalan di kota negara Maespati. Berkat daya kesaktian ajian Rawarontek, Rahwana memang tidak bisa mati. Tapi ia tetap bisa mengalami kesakitan dan penderitaan, dan siksaan yang tengah ia alami ini merupakan penderitaan yang maha berat baik secara lahir dan batin.

Dalam keadaan terseret, tubuh Rahwana bukan saja harus berbenturan dengan batu lubang jalanan dan roda kereta, tetapi ia juga harus menanggung penghinaan yang luar biasa besarnya, dimana dalam keadaan sebagai pecundang dan pesakitan, tubuhnya yang terseret kereta itu harus menjadi tontonan ribuan rakyat Maespati. Tidak itu saja. Rakyat Maespati yang membencinya ikut menambah derita lahir batinnya. Mereka melempari tubuhnya dengan batu, kayu, telur busuk dan juga kotoran hewan. Bila berkesempatan sebagian rakyat Maespatipun meludahi mukanya.

Set elah penyiksaan itu berlangsung beberapa saat, datang Brahmana Pulasta yang sengaja turun dari pertapaan Nayaloka yang berada di kahyangan Madyapada. Brahmana raksasa yang tingkat ilmunya sudah mencapai kesempumaan itu adalah kakek buyut Rahwana dari garis ayah, Resi Wisrawa. Brahmana Pulasta adalah cucu Bhatara Sambodana yang berarti cicit Bhatara Sambu. la, berputra Resi Supadma, ayah Resi Wisrawa. Kedatangan Brahmana Pulasta menemui Prabu Arjunasasrabahu adalah untuk memintakan pengampunan bagi cucu buyutnya, Rahwana. Karena menurut ketentuan Dewata, belum saatnya Rahwana untuk menemui kematian. la memang harus mati oleh satria penjelmaan Dewa Wisnu, tetapi bukan pada penjelmaannya yang sekarang, tetapi pada penjeImaan Wisnu berikutnya. "Rahwana memang makluk yang ambek angkara murka. Ia memang pantas menderita dan mati untuk menebus dosa-dosanya. Tapi bukan sekarang. Itutah ketentuan dewata yang aku ketahui. Karena itulah aku memohon kemurahan hati Paduka untuk membebaskan Rahwana. Berilah ia kesempatan untuk hidup dan memperbaiki perilakunya. Apapun persyaratan yang Paduka minta, aku akan memenuhinya." kata Brahmana Pulasta, lembut.

Menghargai permintaan brahmana sakti yang tingkat hidupnya sudah setara dewa itu, Prabu Arjunasasrabahu memenuhi apa yang menjadi keinginan Brahmana Pulasta. Rahwana segera dilepaskan dari ikatan rantai yang membelit sekujur tubuhnya. Begitu terbebas, Rahwana langsung duduk bersimpuh di hadapan Prabu Arjunasasrabahu. Sambil menyembah ia menyatakan tobat dan berjanji tidak akan berbuat kejahatan lagi. Rahwana juga menyatakan tunduk pada Prabu Arjunasasrabahu dan rela menyerahkan tahta dan kerajaan Alengka dalam kekuasaan raja Maespati, dan bersedia menjadi Raja taklukan. Prabu Arjunasasrabahu  menerima pertobatan Rahwana. Namun ia tak menghendaki tahta dan negara Alengka. la hanya menasehati dan meminta Rahwana untuk memerintah dengan adil dan memanfaatkan kekayaan negara untuk kepentingan rakyatnya. Bukan untuk kepentingan diri sendiri.

Sejak peristiwa tersebut, negeri Maespati tumbuh menjadi negara adi daya dan adi kuasa. Kejayaannya merambah sampai lebih dan tiga perempat isi jagad raya. Prabu Arjunasasrabahu sendiri dikenal sebagai Raja yang Gung Binatara (Maha Besar dan Maha Berkuasa). Hampir seluruh raja di jagad raya secara suka reta tunduk dan hormat kepadanya. Meskipun demikian, ia tetap bersikap bijaksana, arif dan hormat terhadap sesama titah marcapada.

Berakhirnya riwayat Arjunasasrabahu ketika ia merasa tak ada lagi lawan yang berarti, dan tak ada lagi gangguan yang mengancam negara Maespati dan negara-negara sekutunya. Ketika kehidupan selanjutnya lebih banyak digunakan bersenangsenang, memanjakan istri, para selir dan putra-putranya. Semakin asyik hidup dalam kesenangan, tugas kewajiban menjaga kelestarian dan kesejahteraan jagad raya (memayu hayuning, bawono) pun mulai menurun. Dalam situasi seperti itu, Betara Wisnu mengakhiri tugasnya menitis pada tubuh Sasrabahu dan berpindah pada tubuh Ramaparasu, putra bungsu dari lima bersaudara putra Resi Jamadagni dan Dewi Renuka, raja negara Kanyakawaya yang hidup sebagai brahmana dipertapaan Daksinapata. Ramaparasu inilah yg kemudian mengakhiri hidup Sasrabahu dalam suatu pertarungan, yg sudah digariskan oleh para dewata.....

Sumber: wikipedia, sudarjanto.multiply .com, oerip