Minggu, 20 Februari 2011

Subali, Sugriwa dan Dewi Tara

Seperti dikisahkan, dewi Anjani telah didatangi oleh Batara Guru dan Batara Narada ketika bertapa dengan cara berendam di tengah aliran sungai, dan akhirnya diboyong ke Kahyangan serta menjadi salah satu permaisuri Sang Manikmaya, dimana setelah melahirkan putranya yang bernama Anoman maka wajah dan tubuh Anjani tidak lagi berjud wanara, namun berubah kembali menjadi manusia normal, bahkan lebih cantik dan bersinar.

Sementara itu Subali yang bertapa dengan cara menggantung di dahan pohon dan Sugriwa yang bertapa di atas rerumputan di tengah hutan dengan mengangkat sebelah kakinya, juga didatangi oleh Batara Guru dan Batara Narada. Kedua dewata ini saat itu tengah resah karena belakangan Kahyangan/ Jonggringsaloka sering diganggu oleh sepasang jin raksasa kakak beradik dari kerajaan Guakiskenda. Dua raksasa yang amat tanguh dan sakti ini bernama Mahesasura dan Lembusura, sesuai dengan penampilannya yang berkepala lembu dan banteng. Batara Guru meminta kesediaan Subali dan Sugriwa untuk mendatangi Guakiskenda dan mengalahkan kedua musuh itu.

Maka, berangkatlah kedua kakak beradik berujud wanara saudara dewi Anjani ini ke Guakiskenda yang ternyata berada di dalam sebuah gua di tengah kelebatan hutan belantara. Subali meminta kepada adiknya, Sugriwa, agar berjaga jaga di depan mulut gua, sementara dia sendiri merangsek masuk ke dalam gua itu, yang berupa terowongan agak menanjak naik dan ternyata bagian dalamnya berupa istana yang indah dan megah. Sebelum masuk ke dalam gua Subali sempat berpesan pada adiknya Sugriwa bahwa apabila nanti dari dalam mengalir darah merah berarti Subali berhasil mengalahkan Mahesasura dan Lembusura. Namun jika yang mengalir keluar darah berwarna putih maka berarti Subali gagal dalam misinya dan gugur dalam pertempuran. Jika itu yang terjadi ia meminta pada Sugriwa untuk menutup mulut gua dengan timbunan batu batu besar agar kedua musuh mereka itu tidak bisa keluar lagi dari gua.

Selang beberapa waktu Sugriwa terkejut melihat dari dalam gua mengalir darah merah maupun putih. Ia sempat menangis meratapi nasib kakaknya yang walaupun berhasil mengalahkan kedua musuhnya namun Subali sendiri tampaknya gugur juga. Iapun lalu menimbuni mulut gua tsb dengan sejumlah batu batu besar dan segara pergi menghadap Batara Narada dan Batara Guru di Kahyangan yang kemudian menyatakan terima kasihnya dengan menganugerahi kepada Sugriwa dewi Tara puteri dari Batara Indra untuk diperistri. Sebagai penghargaan tambahan, Sugriwapun diberi kekuasaan di kerajaan Guakiskenda yang semula dikuasai Mahesasura-Lembusura, sebuah negara yang memiliki jutaan pasukan berbagai jenis kera, orangutan, gorilla dan primata lainnya.

Ternyata, darah merah dan putih yang mengalir keluar gua yang telah ditutup oleh Sugriwa tadi berasal dari badan serta otak/ kepala Mahesasura-Lembusura yang pecah oleh Subali yang berhasil mengalahkan keduanya dalam pertarungan yang cukup melelahkan. Subali amat berang ketika melihat pintu gua ditutup timbunan batu oleh Sugriwa. Kemarahannya memuncak setelah berhasil menyingkirkan batu batu tadi ia menjumpai Sugriwa telah memboyong Dewi Tara dari Kahyangan yang sesungguhnya adalah haknya karena keberhasilannya mengalahkan rasaksa penguasa Guakiskenda. Segera saja adiknya Sugriwa itu diserang dan djadikan bulan bulanan kemarahannya. Ia sama sekali tidak ingat akan permintaannya pada Sugriwa perihal darah merah dan putih sebelum ia masuk gua untuk bertarung.

Pada akhirnya, Sugriwa dilempar keatas sebuah pohon dan terjepit diantara kedua dahan besarnya, untuk tidak bisa turun kembali. Sementara Subali kemudian menikahi Dewi Tara dan berkuasa sebagai raja di Guakiskenda.

Tidak cukupkah tragedi keluarga Resi Gotama, atas perselingkuhan istrinya Dewi Indradi yang kemudian dikutuk menjadi batu, ditambah perubahan ujud Subali, Sugriwa dan Anjani menjadi rupa wanara...?


Sumber: kosasih, ardisoma, wikipedia, www.infowayang.com

Anoman, anak Anjani

Sesuai petunjuk sang ayahanda Resi Gotama, Anjani bertapa dengan cara berendam telanjang seperti seekor katak di tengah aliran sebuah sungai. yang muncul ke permukaan air hanyalah kepalanya sebatas leher, sedang untuk kebutuhan makanan diperoleh dari buah buahan atau dedaunan yang jatuh dan hanyut dibawa mengalir sungai itu dan mendekat kepadanya. Demikian khusuknya tapa sang Anjani sehingga menimbulkan tanda tanda di kahyangan,berupa gemuruhya suara di kawah candradimuka.

Maka, Batara Guru dan Batara Narada-pun terbang melintasi angkasa, turun ke mayapada dan mendatangi sumber kekuatan tapabrata itu. Saat dari ketinggian melihat Anjani, Batara Guru terkesima, terpesona, menggelegak gairahnya sampai mengeluarkan air kehidupan dari tubuhnya. Raja para dewa itu pun mengusapnya dengan daun asam (bhs Jawa: Sinom) lalu dibuangnya ke sungai. Daun sinom itu jatuh dan dihanyutkan aliran sungai mendekati Anjani, yang lalu memakannya. Batara Guru berkata pada Anjani bahwa tapanya telah diterima, dan keinginannya agar wajah dan kedua tangannya kembali seperti sediakala, tidak lagi menyerupai kera, bisa dikabulkan oleh dewata. Namun, hal tsb akan terlaksana setelah Anjani kelak melahirkan seorang bayi. Dengan memakan daun sinom berzat kehidupan Batara Guru itu, Anjani akan berbadan dua, dan akan melahirkan putera dari Sang Hyang Manikmaya ini.

Ketika tiba saatnya melahirkan, Anjani dibawa ke Kahyangan dan dibantu para bidadari. Ia melahirkan seekor bayi kera berbulu putih bersih, sedangkan dirinya sendiri kembali berwajah cantik dan menjadi penghuni kahyangan sebagai seorang bidadari. Bayi berwujud kera putih anak Anjani ini diberi nama Anoman (Hanoman). Ia tumbuh dan dibesarkan di lingkungan Kahyangan, diberi pendidikan dan diajari bermacam ilmu serta kesaktian oleh para dewata, terutama oleh Batara Bayu, sang dewa angin. Anoman, ksatria berujud wanara berbulu putih bersih ini tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah, sakti luar biasa dan tidak terkalahkan. Ia diberi nama tambahan Bayutanaya dan Bayukrama karena dididik dan dititisi Batara Bayu. Anoman juga dijuluki Prewagaseta (berbulu putih), Mayangkara (samar bila berada di tempat benderang) dan Suwiyuswa (berusia amat panjang, kematiannya akan datang hanya atas kehendaknya sendiri).

Suatu ketika Anoman mempertanyakan asal usulnya pada pengasuh ibunya sejak kecil yang bernama Kapisraba, mengapa dirinya berujud wanara, juga mengapa dirinya yang bukan keturunan dewata tinggal di Jonggringsaloka/ Kahyangan. Kapisraba pun lalu mengisahkan riwayat kakeknya Resi Gotama yang beristrikan Dewi Indradi, juga kisah Cupu ajaib yang kemudian menjadi rebutan Anjani dan dua adiknya, Subali & Sugriwa, dan pada akhirnya mengakibatkan ketiganya berubah ujud menjadi wanara/ kera.

Dalam interpretasi Anoman, yang paling bersalah dalam rangkaian kasus ini adalah Batara Surya. Bermula dari hubungan terlarangnya dengan Dewi Indradi berikut pemberian hadiah cupu yang mengakibatkan permasalahan dengan Resi Gotama, suaminya, dengan anak2nya. Juga, Anoman merasa amat masyangul membayangkan penderitaan dewi Indradi yang dikutuk suaminya menjadi tugu batu dan dibuang entah kemana.

Anoman lalu mencari Batara Surya, ingin meminta pertanggung jawaban berupa sekedar permintaan maaf atas kasus itu, serta menuntut pengembalian jasad eyang putrinya, Indradi, dari tugu batu kembali menjadi manusia. Ketika bertemu dengan Batara Surya, perdebatan berlanjut dengan pertarungan antara keduanya. Batara Surya cukup kewalahan menghadapi Anoman yang memang memiliki kesaktian luar biasa ini. Ketika akhirnya batara Surya berlindung dalam terangnya matahari kekuasaannya untuk tidak memperpanjang peseteruannya denganAnoman, sang wanara putih ini justru lalu mengerahkan segala ajiannya dan menghimpun seluruh awan, mega dan mendung sejagat raya untuk membungkus matahari. Akibatnya, seluruh alam menjadi gelap gulita. Seisi kahyangan kaget, segenap mayapada panik. Siang hari sama sekali tidak ada sinar matahari, malam hari bulanpun menghilang karena tidak adanya pantulan cahaya matahari. yang tersisa hanyalah ribuan kedipan bintang yang membisu.

Bujukan batara Narada dan para dewa lainnya tidak bisa meluluhkan hati Anoman untuk menghentikan perbuatannya. Akhirnya batara Guru meminta Anjani, ibunda sang Anoman, untuk membujuk putera terkasihnya itu. Dengan tutur kata lemah lembut, sang ibu membuka mata hati Anoman terhadap banyak hal. Kisah perselingkuhan dewi Indradi dengan batara Surya yang tentu bukan kesalahan hanya satu pihak saja. Keterbatasan pengendalian emosi Resi Gotama untuk --alih2 membicarakannya empat mata-- malah menuntut keterusterangan istrinya di depan anak2nya perihal perselingkuhan dengan batara Surya. Ketidak mampuan pengendalian amarah Gotama yang menyebabkan kutukan atas Indradi menjadi patung batu. Juga, rentetan akibat perbuatan Anoman atas perbuatannya menghilangkan sinar matahari yang bisa menyebabkan bencana terhadap ribuan umat manusia. Selain itu, batara Guru juga menyampaikan bahwa tidak lama lagi akan tiba saatnya Anoman dikirim ke mayapada untuk mendapatkan tugas yang lebih bera namun mulia, membantu menumpas angkara murka. Dari sisi lain, secara tidak langsung Anoman juga akan ikut andil dalam mengembalikan ujud dewi Indradi kembali menjadi manusia, bahkan bidadari seperti sediakala, ketika tugu batu tsb kelak digunakan untuk membela kebenaran dengan cara dihantamkan ke kepala seorang raksasa atau angkara murka.

Akhirnya, Anoman memang luluh hatinya dan minta maaf pada batara Surya dan para dewata lainnya atas perbuatannya yang menurutkan hawa nafsu semata itu. Dengan kesaktiannya, awan hitam yang bergulung gulung membungkus matahari bergerak kembali ketempat asalnya di seluruh penjuru jagat raya. Mataharipun kembali bersinar seperti sediakala. Kelak, setelah diberi tambahan bekal pengetahuan dan ilmu ilmu lain, Anoman turun ke mayapada untuk membantu keturunan dewata --termasuk Sri Rama, sang penjelmaan Wisnu-- menumpas kejahatan....



Sumber: kosasih, ardisoma, wikipedia, www.infowayang.com

Tragedi Agrastina: Anjani, Subali & Sugriwa

Syahdan. Di pertapaan Agrastina di daerah Gunung Sukendra, hidup Resi Gotama beserta keluarganya. Resi Gotama adalah keturunan Bathara Ismaya, putra Prabu Heriya dari Maespati. Dia adik Prabu Kartawirya, ayahanda Prabu Arjunasasrabahu. Atas jasa dan baktinya kepada para dewa, Resi Gotama dianugrahi seorang bidadari kahyangan bernama Dewi Windradi. Dari hasil perkawinannya mereka dikaruniai tiga orang anak, Dewi Anjani yg cantik jelita serta Guwarsa dan Guwarsi yg tampan dan rupawan.

Tahun berganti tahun, Dewi Windradi yang sering merasa kesepian karena bersuamikan seorang brahmana tua yg lebih banyak bertapa, akhirnya tergoda oleh panah asmara Bhatara Surya. Terjalinlah hubungan asmara secara rahasia yg sedemikian rapi sampai bertahun-tahun tidak diketahui oleh Resi Gotama maupun oleh ketiga putranya yang semakin beranjak dewasa.

Dewi Indradi memiliki sebuah pusaka kedewataan, Cupumanik Astagina, pemberian kekasihnya, Batara Surya. Ketika memberikan Cupumanik itu, Bhatara Surya mewanti-wanti untuk jangan pernah sekalipun benda itu ditunjukkan, apalagi diberikan orang lain, walau itu putranya sendiri. Kalau pesan itu sampai terlanggar, akan terjadi hal hal yang tak diharapkan. Cupumanik Astagina adalah pusaka kadewatan yang menurut ketentuan dewata tidak boleh dilihat atau dimiliki oleh manusia lumrah. Larangan ini disebabkan karena disamping memiliki khasiat kesaktian yang luar biasa, juga didalamnya mengandung rahasia kehidupan alam nyata dan alam kasuwargan. Bila orang membuka Cupumanik Astagina, pada mangkuk bagian dalamnya akan tampak gambaran swargaloka yang serba menakjubkan dan penuh warna warni yg mempesona. Sedangkan pada tutup bagian dalamnya dapat dilihat berbagai panorama menakjubkan yang ada di seluruh jagad raya, tampil berganti ganti dari satu pemandangan ke pemandangan lain bagaikan keadaan yg nyata, seolah yg melihatnya sedang dibawa berkelana berkeliling mayapada, menikmati keindahan alam dari ketinggian, memandang gunung kebiruan, hutan menghijau, sungai berkelok, mega berarakan dan langit biru menyejukkan.

Namun, suatu hari ketika Dewi Indradi sedang asyik mengamati keindahan isi cupu tsb, putri sulungnya Anjani memergokinya, dan tentu saja amat ingin mengetahui benda yg amat menarik itu. Terpaksa Dewi Indradi meminjamkannya, dengan syarat jangan sampai diketahui oleh adik-adiknya. Namun, akhirnya Anjani tidak tahan untuk tidak memamerkannya kepada kedua adiknya, Guwarsa dan Guwarsi. Akibatnya Cupu Manik Astagina itu menjadi rebutan, sehingga terjadi pertengkaran dan keributan diantara ketiga kakak beradik tsb. Anjani menangis dan melapor pada ibunya, sementara Guwarsa dan Guwarsi mengadu pada ayahnya. Bahkan secara emosional Guwarsa dan Guwarsi menuduh ayahnya, Resi Gotama telah berbuat tidak adil menganak emaskan Anjani dengan memberi hadiah yg mereka tidak dapatkan.

Tuduhan kedua putranya ini membuat Resi Gotama sedih dan prihatin, sebab ia merasa tidak pernah berbuat seperti itu. Segera saja ia memanggil Anjani dan Dewi Indradi. Karena rasa takut dan hormat kepada ayahnya, Anjani menyerahkan Cupumanik Astagina kepada ayahnya. Anjani berterus terang, bahwa benda itu diperoleh dan dipinjam dari ibunya. Sementara Indradi diam membisu tidak berani berterus terang dari mana ia mendapatkan benda kadewatan tersebut. Dewi Indradi dihadapkan pada buah simalakama. Berterus terang, akan membongkar hubungan gelapnya dengan Bhatara Surya. Bersikap diam, sama saja artinya dengan tidak menghormati suaminya. Sikap membisu Indradi membuat Resi Gotama marah, yg lalu bersupata bahwa sikap diam Indradi itu bagaikan sebuah patung batu. Karena pengaruh kesaktiannya, dalam sekejap sang Dewi benar2 berubah ujud menjadi batu sebesar manusia yg mirip sebuah tugu. Menghadapi keterlanjuran itu Sang Resi segera mengangkat tugu batu tsb dan dilemparkannya sejauh mungkin, dan ternyata jatuh di taman Argasoka deka kerajaan Alengka. Kutukan ini akan berakhir kelak bila batu tsb digunakan untuk membela kebenaran dengan cara dihantamkan ke kepala seorang raksasa atau angkara murka.

Demi keadilan atas cupu yg diperebutkan ketiga anak2nya, Resi Gotama lalu melemparkan cupu bertuah tsb ke udara. Siapapun yang menemukan benda tersebut nanti, dialah pemiliknya. Maka, Anjani, Guwarsi dan Guwarsa segera berlari saling mendahului mengejar pusaka kadewatan tersebut. Tetapi Cupumanik Astagina ini seolah mempunyai sayap. Sebentar saja ia telah melayang melintas di balik bukit. Cupu tersebut lalu terpisah menjadi dua, bagian mangkuk jatuh ke tanah dan berubah wujud menjadi sebuah telaga bernama Nirmala, sedangkan tutupnya jatuh menjadi telaga Sumala. Sementara itu Anjani, Guwarsi dan Guwarsa yang
mengira cupu tsb jatuh ke dalam telaga di tengah hutan itu, langsung saja mendekati telaga Nirmala. Padahal, menurut ketentuan dewata, untuk orang yg sedang diliputi rasa serakah keduniawian bila tersentuh air telaga tsb maka bagian tubuh yg mengenai air tsb akan berubah ujud menjadi bagian tubuh kera/monyet.

Tanpa berpikir panjang, Guwarsa dan Guwarsi segera menceburkan diri dan menyelam ke dalam telaga, mencari cupu tadi. Sementara Anjani yg tidak seberani kedua adik lelakinya hanya termangu berdiri di pinggir telaga. Namun, karena merasa lelah berlarian sebelumnya, Anjanipun membasuh mukanya di air telaga tsb, agar merasa segar. Segera saja kedua tangannya sampai siku ditumbuhi bulu2 lebat, sementara wajah dan kepalanya berubah menjadi laiknya seekor kera. Akan halnya Guwarsa dan Guwarsi, merekapun segera muncul ke permukaan telaga dalam keadaan telah berubah wujud sekujur badannya menjadi kera. Sungguh suatu malapetaka yg hebat, yg membuat mereka bertiga benar2 amat terpukul. Tidak ada lagi wajah mempesona Anjani, tidak tersisa lagi ketampanan Guwarsa maupun kerupawanan Guwarsi. Ketiga kakak beradik inipun saling berpelukan menangisi kejadian yang menimpa diri mereka. Dengan penuh penyesalan mereka kembali ke pertapaan dan mohon pada ayahandanya agar ujud mereka dikembalikan seperti semula, tapi Resi Gotama mengatakan bahwa perubahan ujud mereka sudah menjadi kehendak dewata. Namun, walaupun berujud kera, mereka masih dapat menunaikan darma. Untuk itu, mereka disarankan untuk pergi bertapa mensucikan diri.

Anjani diperintahkan Resi Gotama utk bertapa di sebuah sungai, sedang Guwarsi dan Guwarsa yang diberi nama baru oleh ayahnya menjadi Subali dan Sugriwa masing-masing bertapa di Gunung dan Hutan Sunyapringga. Sesuai petunjuk ayah mereka, Anjani bertapa dengan gaya berendam telanjang seperti seekor katak (cantoka) di tengah aliran sebuah sungai, sementara Subali menggantung di ketinggian dahan sebuah pohon seperti seekor kelelawar (ngalong), sedangkan Sugriwa bertapa di atas rerumputan di tengah kelebatan hutan dengan mengangkat sebelah kakinya seperti seekor kijang (ngidang). Demikianlah. Anjani, Subali & Sugriwa nglakoni tapabrata selama berhari hari, berminggu minggu, berbulan bulan, untuk menebus kesalahan mereka.....


Sumber: kosasih, ardisoma, wikipedia, www.infowayang.com, kenksatria.multiply.com

Gugurnya Sumantri

Prabu Arjunasasrabahu adalah raja yang sangat mencintai dan memanjakan  istri-istrinya, terutama permaisuri Dewi Citrawati. Apa saja yang menjadi keinginan Dewi Citrawati selalu berusaha untuk dipenuhinya. Suatu ketika Dewi Citrawati menyampaikan satu keinginan yang rasanya agak mustahil dapat terpenuhi oleh manusia lumrah di Marcapada, atau bahkan Dewapun sekalipun. Dewi Citrawati ingin mandi bersama 800 orang selirnya di sebuah sungai atau danau. Keinginan yang aneh inipun berusaha di penuhi oleh Prabu Arjunasasrabahu. Dengan disertai Patih Suwanda, dan dikawal beberapa ratus orang prajurit, Prabu Arjunasasrabahu membawa Dewi Citrawati dan 800 orang selirnya lengkap dengan para dayangnya masing-masing pergi ke sebuah dataran rendah, dimana ditengahnya mengalir sebuah sungai. "Dinda Patih Suwanda, aku akan bertiwikrama tidur melintang membendung aliran sungai agar tercipta danau buatan untuk tempat mandi dan bercengkrama dinda Dewi Citrawati dan para selir. Selama aku tidur bertiwikrama, keselamatan dinda Citrawati dan para garwa ampil, sepenuhnya aku serahkan pada dinda Patih Suwanda." kata Sang Prabu.

Sasrabahu kemudian bertiwikrama, yaitu mengubah tubuhnya menjadi rasaksa yg amat besar, tidur melintang membendung aliran sebuah sungai. Dengan tubuh sebesar bukit dengan panjang hampir mencapai 500 meter, dalam waktu tidak terlalu lama, lembah itu dalam waktu singkat berubah menjadi sebuah danau buatan yang sangat luas. Dengan suka cita Dewi Citrawati terjun kedalam air, diikuti oleh para selir dan para dayang. Mereka berenang kesana-kemari, bercanda, bersuka cita penuh kegembiraan dan gelak tawa. Pemandangan yg terjadi sungguh unik, dimana seribu lebih wanita cantik bertubuh seksi dalam keadaan polos tumplek uyel (menyatu saling bergerak tak karuan) di dalam air yang jernih, dengan berbagai tingkah polah menggemaskan.

Luapan air sungai yang terbendung semakin lama semakin meninggi, meluas melebar menggenangi perbukitan dan daerah sekitarnya. Mengalir deras ke daratan yang lebih rendah, laksana air bah melanda persawahan dan perbukitan. Kejadian ini sama sekali tak disadari oleh Prabu Arjunasasrabahu, karena ia dalam keadaan
tidur berTiwikrama. Sementara itu diantara kedua betis raksasa jelmaan Arjunasasrabahu terdapat daerah kering, dan disana dibangun sebuah pesanggrahan darurat untuk tempat istirahat atau berganti pakaian Dewi Citrawati dan para selir berikut dayang-dayangnya.

Tak terduga luapan air bengawan yang berbalik arah ke arah hulu, melanda lembah dan perbukitan, melanda pula daerah perbukitan Janakya di wilayah negara Sakya, dimana Rahwana, raja Alengka beserta para hulubalangnya sedang membangun pesanggrahan. Dalam sekejap, bangunan pesanggrahan Rahwana ludes dilanda air bah. Rahwana dan para hulubalangnya yang bisa terbang, segera terbang menyelamatkan diri ke puncak gunung, diikuti oleh para raksasa pengikutnya berlari-lari cepat mendaki bukit yang lebih tinggi. Namun banyak pula diantara para raksasa yang tidak sempat menyelamatkan diri, mati hanyut dilanda air bah.

Kejadian tersebut menimbulkan kemarahan Rahwana. la segera menyuruh Detya Kala Marica, abdi kepercayaarmya untuk mencari penyebab bencana itu. Dalam waktu singkat Kala Marica telah kembali menghadap Rahwana, melaporkan bahwa yang menyebabkan meluapnya aliran sungai dan menghancurkan pesanggrahan adalah akibat ulah Prabu Arjunasasrabahu, raja negara Maespati, yang bertiwikrama menjadi raksasa dan tidur melintang di muara sungai.

Rahwanapun mencari tahu siapa gerangan Arjuna Sasrabahu itu. Dari pamannya, ia mendengar perihal kesaktian Raja Maespati itu. Ia juga menjadi tahu bahwa permaisuri dan para selir Sasrabahu bukanlah wanita sembarangan, tetapi wanita-wanita cantik putri para raja taklukan yang secara sukarela tunduk pada kekuasaan negara Maespati. Namun dari kesemua para putri itu, yang kecantikannya paling menawan adalah sang permaisuri, Dewi Citrawati. Beliau adalah putri Magada yang pernah menjadi rebutan ribuan raja karena diyakini sebagai penjelmaan Bhatari Sriwidawati.

"Hemmm, kebetulan! Aku akan rebut Dewi Citrawati dari tangan Arjunasasrabahu!" kata Rahwana lantang. la kemudian memerintahkan para pungawanya untuk menyiapkan pasukan perang, menggempur negara Maespati. Dengan sikap hati-hati Patih Prahasta berusaha menasehati dan mengingatkan Prabu Rahwana akan akibat buruk dari peperangan tersebut. Diingatkan pula oleh Patih Prahasta, akan kesaktian dan keperwiraan Prabu Arjunasasrabahu dan patih Suwanda yang sulit tertandingi oleh lawan siapapun, termasuk Prabu Rahwana sendiri. Namun Rahwana tetap kukuh dengan kemauannya. "Di jagad raya ini tidak ada seorangpun titah yang dapat mengalahkan Rahwana. Inilah janji Dewa Syiwa kepadaku!" kata Rahwana lantang.

Peperangan tak dapat dihindarkan dan berlangsung dengan seru antara pasukan Alengka sebagai penyerang dan pasukan Maespati yang berusaha mempertahankan kehormatan dan kedaulatan negaranya. Korbanpun berjatuhan, bergelimpangan Ribuan raksasa dipihak Alengka dan ribuan prajurit di pihak Maespati. Ketika banyak para senopati perang Alengka mati dalam peperangan dan pasukan terdesak mundur, Rahwana akhirnya maju perang sendiri menghadapi para senopati perang Maespati. Rahwana merubah wujud menjadi raksasa sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan dua puluh yang masing-masing tanganya memegang berbagai jenis  senjata. Sepak terjang Rahwana sangat menakutkan. Dalam sekejap ratusan prajurit Maespati menemui ajaInya. Untuk menghadapi amukan dan sepak terjang Rahwana, beberapa raja yang menjadi senopati perang Maespati mencoba menghadangnya. Namun bagaimanapun saktinya mereka, mereka bukantah tandingan Rahwana. Para raja itu akhirnya gugur ditangan Rahwana.


Menyaksikan hal itu, akhirnya Patih Suwanda/ Sumantri maju sendiri memimpin pasukan Maespati. Dengan tata gelar perang "Garuda Nglayang" pasukan Maespati bergerak cepat, memukul mundur dan memporak porandakan pasukan Alengka. Sepak terjang Patih Suwanda sangat trengginas. Tak satupun para Senopati perang Alengka, baik Tumenggung Mintragna, Karadusana, Trimurda, juga patih Prahasta yang mampu menandingi kesaktian Patih Suwanda. Mereka lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Beberapa putra Rahwana antara lain Kuntalamea, Trigarda, Indrayaksa dan Yaksadewa yang nekad berperang mati-matian melawan Patih Suwanda, akhirnya mati juga di medan perang.

Ketika akhirnya Rahwana bertarung langsung dengan Sumantri, berkali-kali Patih Suwanda berhasil memenggal putus kepala Rahwana. Namun Rahwana selalu dapat hidup kembali dari kematian, dalam sekejap, kepala yg tertebas dari tubuhnya langsung menyatu kembali. Hal ini berkat Ajian Rawarontek, ajaran dan pemberian Prabu Danaraja (Prabu Danapati), raja negara Lokapala terdahulu yang masih kakak Rahwana satu ayah, putra resi Wisrawa.

Patih Suwanda mulai kehilangan akal dan kesabaran menghadapi kesaktian Rahwana. Sementara itu di Sorgamaya, arwah Sukasrana, adik Patih Suwanda, masih bergentayangan melihat pertempuran tersebut. Ia melihat inilah saat yang tepat untuk berbuat sesuatu pada kakaknya, dan memenuhi janjinya unluk bersama-sama arwah kakaknya, Sumantri (Patih Suwanda) pergi ke Sorgaloka. Dengan cepat arwah Sukasrana menyatu hidup dalam taring Rahwana. Perang tanding pun kembali berlangsung antara Patih Suwanda melawan Rahwana. Patih Suwanda telah berketetapan hati hendak mencincang habis kepala Rahwana agar tidak bisa hidup kembali. Karena itu tatkala kepala Rahwana lepas dari lehernya terbabat senjata cakra, Patih Suwanda segera memungut kepala Rahwana. Tak terduga, saat ia memegang rambut kepala Rahwana, tanpa disadari tubuh Rahwana menyatu kembali berkat daya kesaktian Aji Rawarontek. Begitu kepalanya menggeliat dan membuka mata, berkat pengaruh arwah Sukasrana, tangan Rahwana langsung mengangkat tubuh Patih Suwanda dan menggigit lehernya hingga putus. Saat itu juga Patih Suwanda menemui ajalnya.

Arwahnya berdampingan dengan arwah Sukasrana terbang menuju ke sorgaloka. Namun, keinginan Sukasrana untuk bisa hidup berdekatan dalam kasih sayang bersama Sumantri di alam fana belum terpenuhi. Karena itu kelak dikemudian hari Sukasrana akan menitis pada seorang resi berujud rasaksa, yg kemudian memiliki menantu satria rupawan bernama Narasoma/ Salya. Namun, kembali, titisan Sumantri ini 'menolak' berdampingan dengan titisan Sukasrana. Yg bisa dilakukan sang Resi sebagai ekspresi kasih sayangnya pada sang satria rupawan itu hanyalah menganugerahkan kesaktian Candrabairawa. Ah, demikian berharganyakah kerupawanan badani dan ketampanan wajah bagi seorang Sumantri untuk merasa hina hidup berdampingan dengan sang buruk rupa...?

Segera setelah Sumantri alias Patih Suwanda gugur di tangan Rahwana, Sasrabahu yg mendapat laporan berita duka itu segera bangun dari tidur dan tiwikramanya. Dalam kemarahan, ia meminta para raja-raja pengikutnya untuk segera mengumpulkan sisa-sisa laskar Maespati yang bercerai berai, dan dia sendiri yang akan memimpin pasukan Maespati menghadapi Rahwana.

Di tengah perjalanan, Prabu Arjunasasrabahu ditemui oleh Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa yang sengaja menghadang langkah Prabu Arjunasasrabahu atas perintah Bhatara Guru. "Cucu Ulun, Arjunasasrabahu. Mengemban perintah Hyang Jagad Pratingkah, Ulun menghadang lakumu yang akan menggelar perang menghadapi Rahwana. Titah Hyang Jagadnata. Ulun harus membatalkan perang melawan Rahwana. Beri kesempatan Rahwana untuk hidup lebih lama. Ulun tahu, Rahwana titah maha sakti yang sepak terjangnya direstui Hyang Siwa dan Durga. Dalam garis dewata, Rahwana bukan tandinganmu !" kata Bhatara Narada kepada Prabu Arjunasasrabahu.

"Bukan maksud hamba untuk menentang perintah Hyang Jagad Pratingkah. Pukulun Kanekaputra tahu, Rahwana telah membunuh adik hamba, Patih Suwanda. Karena itu perbuatan Rahwana harus dibalas.kata Prabu Arjunasasrabahu. 'Ulun tahu akan kecintaanmu terhadap Patih Suwanda, dan dendam ulun pada Rahwana. Tapi saat ini Rahwana belum saatnya mati. Takdir dewata, ia memang harus mati melalui tanganmu, tapi bukan pada penitisanmu yang sekarang, melainkan pada penitisanmu yang akan datang." kata Bhatara Narada. "Baik, hamba berjanji, hamba tidak akan membunuh Rahwana. Hamba hanya akan menghukumnya, memberi pelajaran agar dapat mengendalikan tindak angkara murkanya. Karena itu perkenankanlah hamba melanjutkan perjalanan, menggelar perang menghadapi Rahwana dan laskar Alengka !" jawab Arjunasasrabahu.

Demkianlah, perang sampyuh tak bisa dihindarkan lagi antara prajurit Maespati melawan laskar raksasa negara Alengka. Dengan tata gelar perang "Garuda Nglayang" sebagaimana yang diterapkan oleh Patih Suwanda, pasukan Maespati di bawah pimpinan Prabu Arjunasasrabahu berhasil memukul mundur dan memporakporandakan laskar raksasa Alengka. Tak terbilang jumlahnya, mungkin ribuan laskar Alengka mati di medan peperangan. Mengetahui pasukannya lumpuh bercerai berahi, akhirnya Rahwana sendiri yang maju perang menghadapi Prabu Arjunasasrabahu. Nasehat Patih Prahasta agar Rahwana menank mundur sernua
pasukan dan menyatakan kalah, ditolak mentah-mentah oleh Rahwana. Rahwana merasa yakin, dengan aji Rawarontek yang dapat menolongnya luput dari kematian, ia akan dapat mengalahkan dan membunuh Prabu Arjunasasrabahu, sebagai mana ia mengalahkan dan membunuh Patih Suwanda.

Saat Rahwana berhadapan langsung dengan Sasarabhu, dalam waktu singkat Sasrabahu segera melepaskan panah Trisula, yang begitu melesat di udara pecah menjadi ratusan anak panah, yang dengan cepat memangkas putus kesepuluh kepala Rahwana, keseratus tangan dan kakinya. Potongan-potongan kepala, tangan, kaki dan gembung Rahwana jatuh berserakan di atas tanah. Namun berkat daya kesaktian Aji Rawarontek, begitu menyentuh tanah potongan-potongan tubuh itu secepatnya bergerak menyatu, dan Rahwana pun hidup kembali. Begitulah terjadi berulang kali.

Akhirnya, Sasrabahu dengan kesaktianya menangkap dan mengikat tubuh Rahwana dengan rantai. Kemudian, tubuh yang sudah tak berdaya itu diikat pada belakang kereta perangnya dan ditarik mengelilingi alun-alun negeri Maespati sampai beberapa kali putaran, kemudian ditarik menyusuri jalan-jalan di kota negara Maespati. Berkat daya kesaktian ajian Rawarontek, Rahwana memang tidak bisa mati. Tapi ia tetap bisa mengalami kesakitan dan penderitaan, dan siksaan yang tengah ia alami ini merupakan penderitaan yang maha berat baik secara lahir dan batin.

Dalam keadaan terseret, tubuh Rahwana bukan saja harus berbenturan dengan batu lubang jalanan dan roda kereta, tetapi ia juga harus menanggung penghinaan yang luar biasa besarnya, dimana dalam keadaan sebagai pecundang dan pesakitan, tubuhnya yang terseret kereta itu harus menjadi tontonan ribuan rakyat Maespati. Tidak itu saja. Rakyat Maespati yang membencinya ikut menambah derita lahir batinnya. Mereka melempari tubuhnya dengan batu, kayu, telur busuk dan juga kotoran hewan. Bila berkesempatan sebagian rakyat Maespatipun meludahi mukanya.

Set elah penyiksaan itu berlangsung beberapa saat, datang Brahmana Pulasta yang sengaja turun dari pertapaan Nayaloka yang berada di kahyangan Madyapada. Brahmana raksasa yang tingkat ilmunya sudah mencapai kesempumaan itu adalah kakek buyut Rahwana dari garis ayah, Resi Wisrawa. Brahmana Pulasta adalah cucu Bhatara Sambodana yang berarti cicit Bhatara Sambu. la, berputra Resi Supadma, ayah Resi Wisrawa. Kedatangan Brahmana Pulasta menemui Prabu Arjunasasrabahu adalah untuk memintakan pengampunan bagi cucu buyutnya, Rahwana. Karena menurut ketentuan Dewata, belum saatnya Rahwana untuk menemui kematian. la memang harus mati oleh satria penjelmaan Dewa Wisnu, tetapi bukan pada penjelmaannya yang sekarang, tetapi pada penjeImaan Wisnu berikutnya. "Rahwana memang makluk yang ambek angkara murka. Ia memang pantas menderita dan mati untuk menebus dosa-dosanya. Tapi bukan sekarang. Itutah ketentuan dewata yang aku ketahui. Karena itulah aku memohon kemurahan hati Paduka untuk membebaskan Rahwana. Berilah ia kesempatan untuk hidup dan memperbaiki perilakunya. Apapun persyaratan yang Paduka minta, aku akan memenuhinya." kata Brahmana Pulasta, lembut.

Menghargai permintaan brahmana sakti yang tingkat hidupnya sudah setara dewa itu, Prabu Arjunasasrabahu memenuhi apa yang menjadi keinginan Brahmana Pulasta. Rahwana segera dilepaskan dari ikatan rantai yang membelit sekujur tubuhnya. Begitu terbebas, Rahwana langsung duduk bersimpuh di hadapan Prabu Arjunasasrabahu. Sambil menyembah ia menyatakan tobat dan berjanji tidak akan berbuat kejahatan lagi. Rahwana juga menyatakan tunduk pada Prabu Arjunasasrabahu dan rela menyerahkan tahta dan kerajaan Alengka dalam kekuasaan raja Maespati, dan bersedia menjadi Raja taklukan. Prabu Arjunasasrabahu  menerima pertobatan Rahwana. Namun ia tak menghendaki tahta dan negara Alengka. la hanya menasehati dan meminta Rahwana untuk memerintah dengan adil dan memanfaatkan kekayaan negara untuk kepentingan rakyatnya. Bukan untuk kepentingan diri sendiri.

Sejak peristiwa tersebut, negeri Maespati tumbuh menjadi negara adi daya dan adi kuasa. Kejayaannya merambah sampai lebih dan tiga perempat isi jagad raya. Prabu Arjunasasrabahu sendiri dikenal sebagai Raja yang Gung Binatara (Maha Besar dan Maha Berkuasa). Hampir seluruh raja di jagad raya secara suka reta tunduk dan hormat kepadanya. Meskipun demikian, ia tetap bersikap bijaksana, arif dan hormat terhadap sesama titah marcapada.

Berakhirnya riwayat Arjunasasrabahu ketika ia merasa tak ada lagi lawan yang berarti, dan tak ada lagi gangguan yang mengancam negara Maespati dan negara-negara sekutunya. Ketika kehidupan selanjutnya lebih banyak digunakan bersenangsenang, memanjakan istri, para selir dan putra-putranya. Semakin asyik hidup dalam kesenangan, tugas kewajiban menjaga kelestarian dan kesejahteraan jagad raya (memayu hayuning, bawono) pun mulai menurun. Dalam situasi seperti itu, Betara Wisnu mengakhiri tugasnya menitis pada tubuh Sasrabahu dan berpindah pada tubuh Ramaparasu, putra bungsu dari lima bersaudara putra Resi Jamadagni dan Dewi Renuka, raja negara Kanyakawaya yang hidup sebagai brahmana dipertapaan Daksinapata. Ramaparasu inilah yg kemudian mengakhiri hidup Sasrabahu dalam suatu pertarungan, yg sudah digariskan oleh para dewata.....

Sumber: wikipedia, sudarjanto.multiply .com, oerip

Arjuna Sasrabahu

Di kerajaan Maespati, bertakhta seorang raja yg adil & bijaksana bernama Arjuna Sasrabahu. Ia adalah cucu dari pendiri kerajaan Maespati, Prabu Heriya, yg merupakan saudara kandung dari Resi Wisanggeni. Dalam cerita Bambang Sumantri, karena sejak kecil Sumantri & adiknya -Sukasrana- diasuh oleh Wisanggeni maka Wisanggeni sering disebut sebut sebagai ayahanda dari Sumantri & Sukasrana, meski sesungguhnya Sumantri adalah cucunya, sebab dua kakak beradik berlainan rupa itu adalah putera dari Resi Suwandagni, salah satu putera Wisanggeni. Karena itu pula ketika Sumantri ingin berkelana meninggalkan padepokannya & mengabdi pada seorang raja, Wisanggeni mengharuskannya pergi ke Maespati untuk mengamalkan segala ilmunya, pada Arjuna Sasrabahu yg masih terhitung sepupunya.

Arjuna Sasrabahu yg digambarkan sebagai seorang yg tampan dan kharismatik dengan kulit berwarna kemerahan ini adalah titisan batara Wisnu. Sorot matanya tajam dan sinar wajahnya menawan. Bila ia menghendaki, atau sedang dalam kemarahan yg luar biasa, ia bisa bertiwikrama, yaitu berubah ujud menjadi rasaksa setinggi bukit. Ia amat sakti mandraguna, tak terkalahkan oleh manusia, bahkan dewata sekalipun. Meskipun demikian, ia termasuk raja yang cinta damai, selalu berusaha menyelesaikan setiap persengketaan dengan musyawarah. Karena itulah wibawanya memancar keseluruh penjuru dan negara-negara taklukannya.

Suatu ketika di sebuah kerajaan yg bernama Magada diadakan sayembara untuk memperebutkan dewi Citrawati yg amat cantik jelita. Sayembara diselenggarakan karena putri negeri Magada ini dipinang oleh raja raja lebih dari seribu negara. Citrawati merupakan titisan Bhatari Sri Widowati, salah satu bidadari dari kahyangan. Arjuna Sasrabahu berpikir, mungkinkah untuk mendapatkan Dewi Citrawati ia harus berperang melawan sekian banyak raja saingannya yg dapat berakibat membunuh ribuan prajurit tak berdosa? Seorang diri ia mampu melakukan hal itu tetapi tindakan itu bertentangan dengan hati nuraninya yang cinta damai. Sementara itu, menempuh pinangan dengan cara damai adalah suatu hal yang sulit dilaksanakan karena lebih dari seribu raja dari berbagai negara lain juga sangat menginginkan Dewi Citrawati untuk menjadi istrinya.

Dari sekian banyak raja yang menginginkan Dewi Citrawati itu, Prabu Darmawisesa dari negeri Widarba, merupakan raja yang sangat berpengaruh dan ditakuti. Ia bersama lebih dari tujuh puluh lima raja sekutunya lengkap dengan ribuan prajuritnya, telah mengepung negara Magada dari berbagai penjuru. Tujuannya jelas. Bila lamarannya terhadap Dewi Citrawati ditolak, Prabu Darmawisesa akan merebutnya dengan kekerasan.

Tatkala Prabu Arjuna Wijaya dalam kebimbangan untuk menentukan sikap, tibalah Bambang Sumantri dari padepokan Ardisekar menghadap untuk mengabdikan diri di negara Maespati. Melihat kesungguhan hati dan kemantapan tekad Sumantri, Prabu Arjuna Sasrabahu bersedia menerima pengabdian Sumantri dengan satu persyaratan, Sumantri harus berhasil menjadi utusan pribadinya dan duta resmi Negara Maespati melamar dan memboyong Dewi Citrawati ke negara Maespati.

Persyaratan itu langsung diterima oleh Bambang Sumantri. Dengan kesaktiannya, tanpa melibatkan para prajurit dari kedua belah pihak, lewat pertempuran yg sengit Sumantri akhirnya dapat menaklukkan Prabu Darmawisesa sekaligus para raja lainnya dan memenuhi persyaratan perkawinan Dewi Citrawati berupa Putri Domas yg berjumlah 800 orang, dan berhak memboyong Dewi Citrawati dari Magada ke Maespati.

Namun dalam perjalanan pulang sebelum memasuki Maespati, Sumantri memerintahkan seluruh rombongan berhenti di perbatasan dan mendirikan perkemahan. Mendadak timbul gagasan pada diri Sumantri untuk membuktikan kesaktian Arjuna Sasrabahu. Tak seorangpun mengetahui dengan pasti, apakah niat ini muncul dari sisi manusiawi seorang lelaki yg dalam keadaan diselimuti rasa bangga berlebihan telah mengalahkan sekian banyak raja yg sakti, terbersit rasa ingin menguasai seorang wanita yg amat menawan yang sedang dalam genggamannya? Atau, sekedar menguji dan mengukur kesaktian dirinya sebagai seorang yg baru turun dari padepokan di pucuk gunung sana?

Yang jelas, Sumantri mengajukan persyaratan lewat surat yg dikirim melalui seorang utusan kepada Prabu Arjuna Sasarabahu agar menjemput sendiri Dewi Citrawati di perbatasan kota dengan cara seorang satria, bila berhasil mengalahkan Sumantri dalam satu peperangan. "Mohon Sri Paduka jangan salah mengerti akan sikap hamba serta menduga yang tidak-tidak, terutama mengenai diri dan itikad hamba. Sedikitpun tak terbersit di hati suatu niat atau keinginan untuk memperistri Tuan Puteri Dewi Citrawati, karena hamba sudah berprasety sejak dulu untuk hidup sebagai satria pinandhita tidak akan menikah seumur hidup. Karena itulah hamba tidak rela menyerahkan putri ulama seperti Dewi Citrawati begitu saja, layaknya seorang raja taklukkan menyerahkan seorang putri sebagai upeti. Hamba ingin Dewi Citrawati direbut dengan peperangan layaknya seorang raja. Hamba berharap peperangan ini akan meningkatkan pamor dan kewibawaan Paduka, bukan saja kepada Dewi Citrawati dan sekalian para putri domas yang berjumlah 800 orang, tetapi juga terhadap para raja dari lebih seribu negara diluar sana, demikian antara lain isi surat Sumantri pada Arjuna Sasrabahu. Merekalah yang akan menjadi saksi sejarah keperkasaan dan kebesaran Paduka. Karena itulah hamba berharap perang tanding diantara kita harus berlangsung dahsyat dan hebat...".

Surat yg disampaikan Bambang Sumantri kepada Arjuna Sasrabahu agar menjemput  sendiri Dewi Citrawati dengan cara 'merebut' dari Sumantri di perbatasan, ditanggapi Sasrabahu dengan kelapangan dada. Dalih Sumantri agar di mata khalayak terbukti kesaktian Sasrabahu dengan melalui peperangan utk tidak menjadikan calon istrinya ini hanya sekedar upeti yg diserahterimakan, disikapi dengan tenang. Berarti, ia harus maju untuk berhadapan dengan Sumantri yg berhasil menyelesaikan tugasnya memboyong Dewi Citrawati dari Magada beserta 800 Putri Domasnya.

Apa yang diinginkan Sumantri menjadi kenyataan. Terjadi perang yg dahsyat antara Prabu Arjuna Sasrabahu melawan Sumantri di lapangan maha luas yang terbentang diantara pegunungan Salva dan Malawa, di perbatasan negara Maespati. Para brahmana dan pujangga melukiskan, peperangan ini merupakan perang maha besar yg pernah terjadi sepanjang alam raya gumelar. Suasana perang ini lebih hebat dan lebih dahsyat daripada perangnya Kumbakarna melawan Prabu Sugriwa yang dibantu Hanoman dan jutaan laskar kera dalam kisah Ramayana, atau perangnya Prabu Rama Wijaya melawan Prabu Rahwana dalam perang Alengka. Perang itu juga lebih dahsyat dan mencekam dari pada perang tanding antara Arjuna melawan Adipati Karna atau perangnya Resi Bhisma melawan Resi Seta, atau perangnya Bima melawan Prabu  Duryudana dalam perang Bharatayudha, bahkan lebih dahsyat dari keseluruhan perang Bharatayudha itu sendiri.

Perang tanding antara Prabu Arjuna Sasrabahu melawan Bambang Sumantri juga terasa agung dan indah. Mereka tampil dengan pakaian kebesaran seorang senapati yang serba sama baik warna maupun bentuknya. Mereka juga menyandang gendewa perang lengkap dengan anak-anak panah saktinya. Bentuknya sama satu dengan lainnya, hanya warna tali selempang gandewa yang berbeda. Selempang gandewa Sasrabahu berwarna merah, sedangkan selempang gandewa Sumantri berwarna kuning gading. Mereka juga sama-sama menaiki kereta perang kadewatan yang masing-masing ditarik oleh empat ekor kuda. Sasrabahu menaiki kereta perang milik Dewa Wisnu yang sengaja didatangkan dari Kahyangan Untarasegara, ditarik empat ekor kuda berbulu hitam dan putih. Sedangkan Sumantri menaiki kereta perang milik Prabu Citragada, yang ditarik empat ekor kuda berbulu merah dengan belang putih pada keempat kakinya. Kereta ini dahulu merupakan kereta perang kadewatan milik Bhatara Indra yang diberikan kepada Prabu Citragada, raja negara Magada. Tak ayal lagi, kedua kereta perang itu memiliki bentuk, kemewahan dan keagungan yang hampir sama. Perbedaannya hany terletak pada pariji perang yang tertancap berkibar di bagian buritan kereta. Panji perang Sasrabahu berwarna kuning emas dengan lambang burung garuda yang siap menerkam lawan, sedangkan panji perang Sumantri berwarna putih denga lambang ular naga tegak berdiri dengan mulut terbuka dan lidah bercabang menjulur ke luar siap mematuk lawan.

Keagungan semakin nampak manakala kedua kereta perang mereka telah saling berhadapan. Mereka tak ubahnya Bhatara Asmara dan Bhatara Candra yang sedang saling berhadapan. Kebesaran dan kedahsyatan perang tanding antara Sasrabahu melawan Sumantri, selain karena arena peperangan yang demikian luas, jumlah serta mereka yang menyaksikan, juga kehebatan pameran kesaktian dan tata gelar perang yang mereka peragakan. Perang tanding itu berlangsung di sebuah padang tandus yang sangat luas, yang membentang antara pegunungan Salva dan Malawa. Disaksikan oleh Dewi Citrawati, wanita titis Bhatari Sri Widowati beserta 800 wanita pengiringnya (putri domas), ribuan dayang, lebih dari seribu raja dan  permaisurinya, lengkap dengan para patihnya dan hulubalang kerajaan, ribuan rakyat Maespati, jutaan prajurit dari lebih seribu negara dan juga disaksikan oleh ratusan dewa dan hapsara-hapsari yg dipimpin langsung oleh Bhatara Narada dan Bhatara Indra yang sengaja turun dari Kahyangan Jonggring Saloka dan Kahyangan Ekacakra.

Berbagai tata gelar perang juga diperagakan dalam perang tanding ini. Dari tata perkelahian tangan kosong, gelar perang keris, tombak dan trisula, juga tata gelar perang kereta disertai ketrampilan menguasai kuda dan kereta, serta kemahiran memainkan anak panah. Kelak mereka baru menyadari, bahwa apa yang diperagakan oleh Sasrabahu dan Sumantri, sesungguhnya merupakan pelajaran tata gelar dan teknik peperangan maha tinggi yang hanya bisa diperagakan oleh Dewa Wisnu dan Dewa Surapati, yang tidak akan terulang lagi sepanjang masa.

Berbagai ilmu kesaktian dan senjata sakti diperagakan dan gumelar dalam perang tanding ini. Ketika senjata sakti panah Dadali milik Sumantri lepas dari busurnya dan begitu melesat di udara pecah menjadi ribuan anak panah dengan pamor berujud bara api menyala merah, Sasrabahu segera melepaskan senjata sakti panah Tritusta. Begitu lepas dari busurnya, panah tersebut pecah menjadi ribuan anak panah yang pamornya memancarkan cahaya keputihan. Ribuan anak panah dari kedua belah pihak itu saling bertempur dahsyat di udara, tak ubahnya orang yang sedang berperang. Saling tangkis, saling menyambar dan saling mengejar serta
saling menyerang. Benturan keras kedua senjata itu sesantiasa menimbulkan dencing suara yang memekakkan telinga.

Melihat pertempuran ribuan anak panah yang tiada akhir itu, Sasrabahu segera melepaskan panah angin, yang begitu melesat di udara menimbulkan angin besar yang menyapu habis sernua anak panah tersebut. Menghadapi kenyataan itu, Sumantri segera melepaskan panah Bojanggapasa, yang begitu melesat ke udara
memecah menjadi jutaan ular naga yang memenuhi arena pertempuran. Untuk mengetahui keampuhan pusaka lawan, Prabu Sasrabahu segera melepas panah sakti Paksijaladra. Seketika di udara muncul jutaan burung garuda, terbang menukik menyambar ular-ular naga ciptaan Sumantri. Bagaimanapun, akhirnya Sumantri memang harus mengakui keunggulan dan kesaktian Sasrabahu.

Akhir dari perang tanding tersebut, memberi pengaruh sangat besar bagi citra Prabu Arjunasasrabahu. Kini yakinlah semua orang, bahwa ia benar2 sosok seorang raja penjelmaan Dewa Wisnu. la dikenal sebagai raja maha sakti dan kewibawaannya memancar ke seantero jagad raya. Para raja yang sejak semula sudah tunduk dan bersekutu dengan kerajaan Maespati, kini semakin menghormatinya. Sementara para raja yang dahulunya ragu untuk tunduk dan bersatu, kini dengan sukarela menyatakan bernaung dibawah panji kebesaran negara Maespati.

Di bawah pemerintahan Prabu Arjunasasrabahu dengan patihnya Suwanda --gelar untuk Sumantri setelah diangkat menjadi patih--, Maespati berkembang menjadi negara adikuasa yang menguasai hampir dua-pertiga jagad raya. Meski demikian, Sasrabahu tetap memerintah dengan sikap yang adil dan arif bijaksana. Prabu Arjunasasrabahu dikenal sebagai raja yang cinta damai dan selalu berusaha menyelesaikan perselisihan dengan negara tetangga secara musyawarah. Dialah raja yang melaksanakan prinsip dan semboyan perdamaian; Sugih tanpo bondho, ngruruk tanpo bolo, Menang tanpo angasorake. (kaya tanpa harta benda, menyerang tanpa prajurit, menang tanpa merasa mengalahkan).

Prabu Arjunasasrabahu adalah Maharaja terbesar yang pernah ada di jagad raya pewayangan. la tidak hanya memerintah hampir duapertiga luas jagad raya dan membawahi lebih dari dua ribu raja dari berbagai negara, tetapi ia juga seorang raja yang hidup dengan seorang permaisuri, Dewi Citrawati, dan lebih dari 800 orang selir. Karena itu tak mengherankan apabila sebagian besar penghuni istana Maespati adalah wanita-wanita cantik, sehingga keadaan taman keputrian istana Maespati tak ubahnya kahyangan Ekacakra, tempat bersemayamnya para bidadari.

Sumber: wikipedia, sudarjanto.multiply.com, oerip

Bambang Sumantri & Sukasrana

Adalah sebuah pertapaan yg bernama Ardisekar, yg dihuni Resi Wisanggeni beserta dua putranya yakni Bambang Sumantri dan adiknya Sukasrana. Sumantri adalah seorang pemuda berparas menawan, sedangkan Sukasrana berbadan kontet dan bermuka seperti raksasa, dengan warna kulit gelap. Meskipun demikian, kedua kakak beradik ini amat saling mengasihi satu sama lain, serta memiliki perilaku yg santun dan budi pekerti yang luhur. Baik Sumantri maupun Sukasrana banyak memperoleh ajaran2 dan ilmu dari ayahandanya, Resi Wisanggeni, sehingga mereka tumbuh menjadi dua anak yg tangguh dan sakti.

Suatu ketika, Sumantri dan Sukrasana sedang berjalan jalan di dalam hutan, seperti yg sering mereka lakukan. Sukarsana yang bertubuh kecil kelelahan dan minta istirahat & tidur sejenak. Saat isitirahat itu kebetulan muncul seorang raksasa yg kelaparan dan menyerang mereka berdua. Setelah memindahkan Sukasrana ke tempat yang aman Sumantripun bertarung melawan makhluk tsb, dan berhasil mengalahkannya meskipun sempat kerepotan dan nyaris kalah, namun untungnya ia memperoleh bantuan dari Betara Indra yg datang dari kahyangan dan menganugerahi panah Cakrabiswara kepadanya.

Manakala Sumantri kembali ke tempat adiknya ditidurkan, ia sangat terkejut melihat binatang2 buas di dalam hutan ternyata berkumpul disekeliling Sukarsana menjaga keselamatannya. Atas keheranan Sumantri Sukarsana menjawab bahwa ia tidak memiliki ajian apapun, hanya selama hidupnya dia tak pernah mengganggu ataupun melukai binatang2 sekecil apapun. Kedua bersaudara kemudian pulang ke padepokan untuk menceritakan kejadian ini kepada Resi Wisanggeni. Oleh sang resi dijelaskan bahwa orang yang memiliki senjata Cakrabiswara merupakan orang yg dikasihi Betara Wisnu, sementara yang dilindungi binatang2 liar artinya adalah orang yang berbudi amat luhur dan juga orang yg dikasihi Betara Dharma.

Beberapa waktu setelah itu, Sumantri menyampaikan niatnya pada Resi Wisanggeni bahwa ia ingin menggunakan & mengamalkan ilmunya untuk melayani sesama umat manusia dan dia meminta ijin kepada Resi Wisanggeni untuk meninggalkan padepokannya. Dengan berat hati Resi Wisanggeni memberi ijin, tapi Sumantri diharuskan mengabdi kepada Raja Maespati Prabu Arjuna Sasrabahu yang terkenal adil bijaksana. Karena kasihan pada adiknya, Sumantri sengaja tidak mengajak Sukarsana karena takut dia akan dicemooh akibat penampilan dan wajahnya. Pada suatu hari di pagi yang belum sempurna, ia berangkat ke arah utara. Ia
tinggalkan Sukrasana adiknya, bocah bajang yang buruk rupa itu. "Aku sengaja pergi pagi-pagi benar pada saat kau masih lelap. Maafkan aku, adikku..." kata Sumantri pada hari kepergiannya itu, penuh rasa haru, di samping tempat tidur adiknya.

Ketika bangun, Sukarsana bingung karena kakaknya telah menghilang. Sukarsana bertanya kepada Resi Wisanggeni kemana kakaknya menghilang. Ketika diberitahu ayahandanya perihal kepergian kakaknya, Sukarsana tidak rela berpisah dengan kakaknya dan memutuskan untuk mencari kakaknya di Maespati. Dalam perjalanannya, Sukarsana merasa kelelahan dan berisitrahat di sebuah pohon besar yang teduh. Tiba2 dia dikejutkan oleh suara besar dari dalam pohon itu. Suara itu berasal dari Candra Birawa yang sedang menunggu kedatangan kekasih Betara Dharma supaya dirinya bisa menitis kedalam tubuh Sukarsana. Sukarsana menjadi bingung dan bertanya mengenai asal usul Candra Birawa. Candra Birawa pun menjelaskan bahwa dirinya sebenarnya diciptakan dari gabungan raksasa2 yang menyerang Swargaloka. Raksasa2 itu punah dikalahkan oleh para dewata tapi oleh Betara Guru dihidupkan kembali menjadi satu badan dan diberi nama Candra Birawa. Tapi Candra Birawa tidak boleh sembarangan berkeliaran di mayapada, dia diharuskan bersatu dengan kekasih/keturunan Betara Dharma karena di tangan orang yang salah, Candra Birawa sangat berbahaya dan bisa menimbulkan kekacauan di mayapada.

Meski telah dijelaskan asal usulnya, Sukarasana masih sangsi untuk memperbolehkan Candra Birawa untuk masuk berdiam dalam tubuhnya. Candra Birawa kemudian menjelaskan bahwa jika tubuhnya menjadi satu, Sukarsana akan menjadi lebih sehat dan kuat, selain itu jika dalam kesulitan Sukarsana tinggal singkep memanggil Candra Birawa dan dirinya akan segera muncul untuk membantu. Dalam pertarungan, Candra Birawa sangat sakti karena setiap tetes darahnya akan menjadi Candra Birawa baru. Sukarsana pun setuju dan memperbolehkan Candra Birawa untuk masuk ke dalam tubuhnya. Dalam hatinya, Sukarsana berpikir bahwa Candra Birawa ini lebih cocok jika diberikan kepada kakaknya Sumantri, orang yg amat dicintainya, yg sebelumnya tidak pernah berpisah dari dirinya.....

Di tengah hutan Sukasrana bertemu dengan Sumantri yang sedang sedih, karena harus memenuhi persyaratan Prabu Arjuna Sasrabahu, memindahkan taman Sriwedari ke negara Maespati bila pengabdiannya ingin diterima. Sukasrana bersedia menolong kakaknya, dengan syarat ia boleh ikut mengabdi di Maespati.

Tapi setelah taman Sriwedari berhasil dipindahkan, Sumantri ingkar janji, bahkan tanpa sengaja Suskarana mati terbunuh oleh panah Sumantri. Sebelum ajal, Sukasrana bersumpah akan hidup bersama-sama dengan Sumantri dalam Nirwana, dan kematiannya akan dibalasnya melalui seorang raja raksasa.

sumber: www.kaskus.us, www.wikimu.com, kosasih

Lahirnya Rahwana & saudara2nya..

Kabar tentang Dewi Sukesi yg akhirnya dinikahi Begawan Wisrawa, sampai juga ke telinga Danaraja, setelah penantian berbulan bulan. Tentu saja Danaraja amat kecewa, bahkan marah besar pada ayahandanya itu, yg telah berkhianat dengan memperistri Sukesi yg sesungguhnya dilamar utk dirinya.

Dalam kekecewaan mendalam, Danaraja mendatangi Wisrawa dan Sukesi yg kini berada  di sebuah pertapaan di gunung Gohkarna. Danaraja semakin tidak bisa mengendalikan amarahnya ketika melihat Sukesi, yg kini telah menjadi istri ayahnya itu dalam keadaan mengandung. Namun, ketika terjadi pertarungan hebat antara Danaraja dan Wisrawa, ternyata ayahnya itu benar2 sakti tidak  terkalahkan. Setiap badannya terluka, bahkan lehernya telah ditebas pedang, dalam beberapa saat Wisrawa bangkit kembali, sehat seperti sediakala. Inilah kehebatan aji rawarontek yg dimilikinya, yakni tidak bisa dibunuh oleh apapun, oleh siapapun, di dunia.

Pada akhirnya, manakala Danaraja putus asa, takluk & menyerah kalah, Wisrawa berkata bahwa sudah sejak lama ia merencanakan mewariskan aji rawarontek ini pada puteranya. Dan ini adalah saat yg tepat. Saat dimana Wisrawa merasa telah amat berdosa dan ingin mengakhiri hidupnya. Danarajapun diminta Wisrawa untuk bersemedi dan menerima ajian rawarontek dari dirinya, untuk kemudian sekaligus diminta agar segera mengakhiri hidup Wisrawa dengan menggunakan sebilah keris miliknya. Wisrawapun rubuh bersimbah darah ditangan puteranya. Dewi Sukesi --yang dalam keadaan hamil tua-- amat terkejut dan panik melihat peristiwa ini sehingga ia menubrukkan tubuhnya pada keris yg masih dipegang Danaraja, agar bisa menyusul Wisrawa, suami yg amat dikasihinya itu ke alam baka. Danaraja tentu bagaimanapun amat terpukul melihat nasib Wisrawa serta Sukesi, apalagi mereka dihabisi oleh tangannya sendiri. Dalam keadaan panik dan tertekan ia meninggalkan kedua jazad yg tergeletak di tanah itu, pulang ke Lokapala.

Malam harinya, dari kandungan Sukesi lahir empat bayi, dua dalam wujud raseksa, satu berwujud raseksi dan satu --yang bungsu-- manusia biasa. Keempat bayi ini tumbuh besar dengan cepat, dalam hitungan minggu, dibawah asuhan para siluman dan dedemit gunung Gohkarna.

Keempat bersaudara ini banyak belajar berbagai hal dari siluman2 pengasuhnya. Mereka juga menjadi tahu bahwa bila memiliki keinginan haruslah bersemedi, memohon pada para dewata. Karena itu, suatu ketika si sulung, si bungsu dan si raseksi bertapa dengan khusuk di puncak bukit Gohkarna. Sementara itu sang raksasa adik si sulung tidur terlelap selama beberapa bulan setelah melahap makanan dalam jumlah luar biasa banyak.

Merekapun kemudian didatangi batara Guru yg menanyakan apa keinginan mereka. Si bungsu yg ketika bertapa demikian khusuk sampai sampai dari badannya memancar cahaya putih menjawab bahwa ia hanya menginginkan dunia aman dan damai, seluruh negeri subur dan sentausa. Batara Guru memberi nama pada pemuda yg berbudi pekerti luhur ini Gunawan Wibisana, dan menganugerahi kitab lopian yg bisa menjawab dan melhat peristiwa gelap.

Si raseksi, anak ke 3, yg bertapa dengan cara merentangkan kedua tangannya menyatakan bahwa ia menginginkan kekuasaan, ditakuti oleh semua orang, bisa menguasai jagad dengan kedua tangannya. Ia diberi nama Sarpakenaka dan diberi kuku sakti pancanaka pada kedua ibu jarinya. Raseksa nomor dua yg dibangunkan dari tidurnya menyatakan tidak ingin kesaktian karena merasa tidak mempunyai musuh, tidak ingin kekayaan karena tidak ingin menjadi angkuh, tidak ingin kekuasaan karena tidak merasa rendah diri, ia menerima kodrat yg digariskan apa adanya. Ia juga berpendapat bahwa banyak tidur memang tidak memberi manfaat pada orang lain, namun juga sama sekali tidak merugikan oang lain, dan jauh dari pikiran jahat. Ia diberi nama Kumbakarna.

Si sulung, yg bertapa dengan cara berdiri dan mengangkat sebelah kaki ini, meminta kepuasan, kesenangan, kekuasaan dan menjadi paling sakti di dunia. Ia juga ingin umur panjang. Karena ia berasal dari darah dalam hutan maka batara Guru memberi nama Rahwana. Bila amarah Rahwana meledak maka muncul sepuluh kepala di badannya, karena itu ia juga bernama Dasamuka.

Rahwana dan Sarpakenaka tumbuh menjadi raksasa dan raksesi beringas, penuh nafsu jahat dan angkara. Rahwana tampak semakin perkasa dan menonjol diantara kedua adik-adiknya. Kelakuannya kasar dan biadab. Demikian juga dengan Sarpakenaka yang menjelma menjadi raksasa wanita yang selalu mengumbar hawa nafsu. Sebaliknya Kumbakarna, meskipun tumbuh menjadi raksasa yang sangat besar, lebih besar dari kedua saudara rasaksanya, namun ia memiliki sifat dan pribadi yang luhur. Walau berujud raksasa, tak sedikitpun tercermin sifat dan watak serakah pada diri Kumbakarna ini. Ia memiliki sifat perwira dan sering menyadarkan perbuatan kakaknya yang salah.


sumber: Wikipedia, Ardisoma, Kosasih

Wisrawa, cinta anak vs hasrat manusiawi

Dengan semakin menyebarnya keturunan para dewata turun ke bumi, maka makin beragam pula kisah yg terjadi di marcapada ini. Salah satunya adalah tentang seorang resi yg bernama Wisrawa. Ia merupakan cucu Brahma, dewa pencipta menurut kepercayaan Hindu. Konon karena tapanya yang hebat, ia memperoleh kekuatan yang dahsyat sehingga namanya menjadi tenar dan terkenal di antara para resi.

Menurut riwayat, Wisrawa memiliki putra yg rupawan bernama Danaraja atau  Danapati dari istrinya yg bernama Ilawida. Kemudian pada perjalanan hidupnya, ia juga kelak mempunyai putera bernama Rahwana, Kumbakarna, Sarpakanaka serta Arya Wibisana (Gunawan Wibisana) yg akan amat mewarnai kehidupan generasi generasi berikutnya (Arjuna Sasrabahu & Bambang Sumantri, Ramayana). Resi Wisrawa sangat sakti karena memiliki Aji Rawarontek dan pusaka Gandik Kencana serta berhasil  menjabarkan ilmu "Sastra Harjendra Yuningrat", yg merupakan ilmu tingkat tinggi yg banyak didamba oleh para ksatria, namun pada umumnya terkendala kemampuan pengelolaan batin masing masing.

Ada seorang putri bernama Dewi Sukesi yg kecantikan dan kemolekannya terkenal dan masyhur ke seluruh penjuru negri. Begitu banyak raja dan ksatria yg melamar Sukesi, namun semua ditolak karena sang dewi mengajukan syarat berat, bahwa ia hanya mau menerima lamaran dari orang yg memiliki kemampuan  pengamalan ilmu "Sastra Harjendra Yuningrat" tadi. Tentunya, dengan melamar sang putri maka permintaan gamblangnya adalah menurunkan ilmu tsb pada Sukesi sendiri. Sebenarnya, banyak pihak sudah  mengingatkan sang dewi akan permintaannya yg sebenarnya menunjukkan kearoganan dan keserakahan ini, namun ambisi dewi Sukesi  rupanya sudah mengalahkan hal lain.

Danaraja yg juga ingin melamar Sukesi menghadap ayahandanya, Wisrawa, agar bersedia memenuhi permintaan sang putri dan melamar Suksesi utk dirinya. Wisrawapun mengingatkan Danaraja, putranya ini, bahwa ilmu tingkat tinggi yg diminta Sukesi tidak bisa diturunkan dan diberikan pada sembarang orang yg  berarti merupakan pelanggaran, apalagi kalau niatnya adalah keserakahan duniawi, atau akan timbul konsekwensi dan masalah besar. Namun, karena 'rengekan' sang putra pada ayahandanya ini, akhirnya Wisrawa hatinya luluh dan bersedia menemui dewi Sukesi utk melamar dengan menyanggupi syarat yg diajukan sang dewi.

Maka, pada hari yg telah disepakati kedua insan ini bertemu di taman Argaloka, Alengka. Wisrawa dan Sukesi duduk berhadapan di dalam sebuah tempat berteduh di tengah taman yg tenang, indah dan romantis ini. Mulailah keduanya bersemedi dan berkonsentrasi untuk proses penurunan ilmu Sastra Harjendra Yuningrat. Dalam proses ini, dewi Sukesi mengalami suatu rasa sensasi yg luar biasa. Suatu rasa tenang dan menghanyutkan namun cukup menguras tenaga dan konsentrasi, sehingga tampak peluh membayang di dahinya, di lehernya, di pundak dan dada bagian atas yg tidak tertutup oleh pakaiannya yg memang berupa kemben atau sari.

Setelah proses penurunan ajian selesai, dilanjutkan dengan wejangan, pepatah dan interpretasi ilmu tsb oleh Wisrawa. Selama berujar, menguraikan dan memberi pandangan pandangan akan isi Harjendra Yuningrat, mata kedua insan berlainan jenis ini hampir tidak lepas satu sama lain.

Yg kemudian terjadi adalah amat manusiawi. Umur, bagi Wisrawa, bukan halangan untuk sebuah gelegak birahi, apalagi untuk seorang yg secantik dan semolek Sukesi. Sorot mata dewi Sukesi yg semakin sayu, sinar matahari petang menjelang malam dari samping yg menyinari tubuh Sukesi yg memperkuat kilatan keringat di
tubuh sang putri, serta kiriman rasa dari Betara Kamajaya dan Dewi kamaratih, sang dewa-dewi asmara, telah menggiring kedua insan di tengah taman Argaloka ini terbang melayang menaiki mega kenikmatan tiada tara, dan mencapai puncak hasrat ragawi, yang terlarang.

Kamajaya dan Kamaratih memang diutus oleh Batara Guru untuk mengalungkan selimut godaan pada Wisrawa dan Sukesi, karena pelanggaran mereka berdua pada ketentuan penyebaran Aji Harjendra Yuningrat. Di mata para dewata, salahkah untuk seseorang mencintai seseorang lainnya? Cinta itu gaib, birahi itu maya. Datang dan perginya tak bisa manusia kuasai dan kendalikan. Yg menjadi persoalan,  tentunya, adalah ingkarnya Wisrawa pada niat semula melamar utk puteranya, namun tidak kuatnya pertahanan diri yg membuyarkan niat luhur semula...


sumber: Wikipedia, Ardisoma, Kosasih, 'Frankly Speaking Area'/Sujiwo Tejo,
prabuwayang.wordpress.com, multiply.com/journal

Batara Kala dan Mitos

Batara Kala lahir dari kama salah yang jatuh dilaut pada saat Batara Guru  bepergian dengan dewi Uma. Batara Kala dilahirkan dalam wujud rasaksa karena ia keluar dari badan Batara Guru dalam emosi yg tidak terkendali akibat penolakan Dewi Uma. Batara Kala memiliki sifat selalu merasa kelaparan, sehingga ikan2 yang ada di samudera tempat ia tinggal dalam waktu singkat nyaris terkuras habis.. Hal ini membuat gara-gara di Suralaya, sehingga para dewa diperintahkan oleh Batara Guru untuk membunuh rasaksa tsb.

Ternyata Batara Kala ini memiliki kesaktian tinggi yg diwarisi dari ayahnya, sehingga akhirnya hanya Batara Guru-lah yg bisa menaklukannya. Ketika Batara Guru akan menghabisi nyawa anaknya ini, diingatkan oleh Narada akan dosa, konsekwensi maupun karma yg lebih besar lagi bila hal itu dilakukan. Akhirnya, Batara Guru hanya mencabut kedua taring anaknya ini agar nafsu makannya bisa lebih terkendali.  Selain itu, kelak bila ia dikembalikan ke marcapada dan ingin memakan makhluk hidup diberi persyaratan tertentu yaitu orang yang mempunyai anak satu yang disebut ontang-anting, Pandawa lima anak lima laki-laki semua atau anak lima putri semua, Kedono kedini, anak dua laki-laki dan perempuan dan sejumlah  persyaratan lain.

Untuk menghindari jadi mangsa Batara Kala orang harus mengadakan upacara ruwatan. Untuk lakon-lakon seperti itu di dalam pedalangan disebut lakon Murwakala atau lakon ruwatan. Di dalam lakon pedalangan Batara Kala selalu ingin memakan para pandawa ataupun ontang anting. Tetapi karena Pandawa (dalam era Mahabharata) selalu dilindungi titisan Wisnu yaitu Batara Kresna maka Batara Kala selalu tidak berhasil memakan Pandawa.

Sumber: Kosasih, Wikipedia

Dewi Uma, istri Batara Guru

Di kerajaan Merut, Prabu Umaran mempunyai seorang bayi perempuan yg aneh karena sejak lahir dia tidak pernah bisa dipeluk oleh ayah ibunya. Setiap orang tuanya ingin mengekspresikan kasih sayangnya selalu sang bayi berubah menjadi bayangan yg melayang layang, yg tampak di depan mata namun ketika diraih seolah hanya menyentuh angin lalu saja. Prabu Umaran & istrinya tentu amat sedih mengalami  hal ini. Sampai kemudian oleh dewata mereka berdua dikarunai kemampuan terbang dan berupaya mengejar sang bayi yang terus melayang layang hingga sampai ke Kahyangan,tempat para dewa bersemayam. Para dewata, termasuk Semar & Togog yg juga berusaha menangkap bayi tsb ternyata juga tidak berhasil karena setiap saat selalu berubah menjadi bayangan.

Maka, Batara Guru sendiri yg mengejar bayi aneh tsb yg terus melayang berputar putar dan membubung tinggi ke angkasa seolah mempermainkan Manikmaya. Ajaib, berangsur angsur bayi tsb berubah ujud menjadi seorang putri yg amat cantik. Manikmaya makin penasaran karena sang puteri ini tetap tidak bisa ditangkap walaupun ia telah mengerahkan segala kesaktiannya. Akhirnya Manikmaya meminta  petunjuk pada Hyang Tunggal di swargaloka. Menurut Hyang Tunggal, sang puteri hanya bisa ditangkap bila kedua tangan dan kakinya dipegang sekaligus, oleh karena itu maka ayahandanya ini menganugerahi tambahan sepasang tangan pada Manikmaya sehingga kini ia memiliki 2 pasang atau 4 buah tangan. Dengan memiliki  4 tangan,  Manikmaya disebut juga Hyang Siwaboja.

Akhirnya memang Batara Guru berhasil menangkap sang puteri dan membawanya kembali kepada Prabu Umaran beserta isterinya. Terungkap dari Prabu Umaran bahwa dari garis nasibnya sejak lahir sang puteri yg ternyata bernama Dewi Uma itu ternyata memiliki kelainan, yaitu tertarik pada sesama jenis. Batara Guru yg kadung terpikat pada kecantikan sang puteri, serta merta menyampaikan  pinangannya pada Prabu Umaran, dan dengan kesaktiannya akan berusaha menyembuhkan kelainan Dewi Uma itu.

Setelah batara Guru & dewi Uma menikah, maka lahirlah putera2 mereka yakni  batara Sambu, Brahma, Indra, Bayu dan Wisnu. Putera2 Batara Guru ini kelak berperan besar pada kehidupan di Mayapada, baik di jaman Sri Rama maupun para Pandawa.

Setelah kelahiran putera ke lima inilah mulai timbul kembali kecenderungan sifat  lama dari dewi Uma, yakni tidak adanya hasrat kepada Betara Guru sehingga mereka semakin jarang bercampur sebagai suami istri. Hingga, pada suatu hari saat mereka tengah bepergian berdua, terbang di atas samudera mengendarai lembu Andini, Batara Guru benar2 memuncak rasa birahinya. Dewi Uma menolak sebab menganggap tidak pantas untuk menyampaikan birahi karena adanya kehadiran lembu Andini. Setelah pertengkaran memuncak, ucapan dewi Uma bahwa yg tidak mampu mengendalikan nafsu hanyalah makhluk bertaring menjadi sebuah supata yg berakibat ucapannya menjadi kenyataan. Batara Guru-pun jadi memiliki dua taring bak rasaksa. Karena birahi yg meledak, maka keluarlah zat kehidupan dari sang Batara Guru yg lalu jatuh ke samudera, menjadi sebuah ujud rasaksa yg kelak diberi nama Batara Kala.

Mendapati kenyataan bahwa dirinya bertaring, dalam amarah yg memuncak keluar  juga kutukan dari Hyang Guru bahwa yg pantas menjadi istri seorang yg bertaring adalah juga raseksi. Dan, dalam sekejap dewi Uma yg semula cantik jelita berubah ujud menjadi rasaksa wanita yg mengerikan...

Hanya karena tidak mampu mengendalikan masing2 hawa nafsunya, baik Batara Guru  maupun Dewi Uma hanya bisa menyesali dan meratapi nasib mereka, terutama berubahnya ujud Dewi Uma, yg dahulu menjadikan tertariknya Batara Guru untuk meminang dan memperistri.....


Sumber: Kosasih, Ardisoma, bharatayudha.multiply.com/journal/item/396/Betari_Uma

Semar, Togog dan Batara Guru


Ismaya yang telah berubah menjadi berwajah buruk dan perut buncit, Antaga yang berwajah tidak kalah buruknya dengan mulut amat lebar serta Manikmaya yg juga merasa amat bersalah menghadap ayahanda mereka sambil menangis, minta ampun dan minta dikembalikan pada kerupawanan semula. Sang Hyang Tunggal yang kemarahannya sudah reda hanya bisa menyesali kutukannya dan mengajak putera2nya untuk ikhlas menerima cobaan ini.

Karena kondisi fisik Ismaya yang tidak memungkinkan, maka rencana Hyang Tunggal untuk menyerahkan tugas2 di Jonggring Saloka tidak jadi diserahkan pada anak tertuanya itu, namun dialihkan pada Manikmaya. Tugas Manikmaya ke depan adalah mengembangkan keturunan para dewata ke Mayapada dan mengawasi kehidupan seluruh umat manusia. Ismaya kelak harus turun ke mayapada untuk mendampingi dan menjaga keturunan para dewata dalam menjalani kehidupannya sehari hari, sedang Antaga bertugas mendampingi dan menginsyafkan orang2 yg angkara murka dan keluar dari jalan yg lurus. Sebagai bagian dari sebutir telur, walau kedudukan berbeda namun harus memiliki tujuan yg sama dalam memelihara kehidupan di mayapada.

Manikmaya yang kini menjadi Betara Guru diberi gelar Jagadnata karena bertugas  mengatur dan menguasai alam raya, ia juga bernama Hyang Otipati karena ia berkuasa menghukum mereka yg bersalah. Sebelum keturunan dewata menyebar, Ismaya yg diberi nama Semar serta Antaga yg kini dinamai Togog sementara masih menetap di Kahyangan, ikut mengawasi dan menegur Manikmaya apabila melakukan tindakan yg salah. Setelah menyerahkan kekuasaan dan mengatur pembagian tugas itu, Hyang Tunggal serta istrinya naik ke kehidupan abadi di Surgadimulya. Apabila dikemudian hari nanti Batara Guru atau Hyang Pramesti sempat merasa takabur dengan segala kekuasaannya, anugerah pusaka maupun kesaktiannya, maka ia akan mendapatkan hukuman dari Hyang Tunggal.

Dinobatkannya Betara Guru menjadi penguasa jagad sempat mendapat tentangan dari  beberapa kalangan termasuk dari jenis jin, dedemit dan duruwiksa. Misalnya, suatu kerajaan demit Dahulagiri yg dipimpin dua rasaksa bernama Cingkarabala dan Balaupata serta yg berbentuk sapi bernama Andini. Setelah Manikmaya berhasil menaklukkan mereka, maka Cingkarabala dan Balaupata diberi tugas menjaga pintu  masuk Jonggring Saloka, sementara Andini yg bisa terbang menjadi tunggangan Manikmaya bila bepergian. Sementara itu, dari kerajaan lain, seorang jin yg bernama Kalamercu juga akhirnya berhasil dikalahkan oleh Manikmaya. Meskipun, karena teramat saktinya, Manikmaya cukup kerepotan dalam pertarungan melawan Kalamercu ini sampai-sampai kaki Batara Guru sempat terjepit di perbukitan lereng gunung Mahameru sehingga sepasang kakinya ini mengecil. Karena cacat kakinya ini Manikmaya juga sering disebut sebagai Sang Hyang Lengin.

Saat yg lain, salah seorang yg masih terhitung keturunan Sang Hyang Tunggal lain  yg bernama Batara Kaneka Putera yg berdiam di suatu kerajaan mengklaim haknya utk juga berkuasa di Kahyangan. Ketika akhirnya Kaneka Putera bisa dikalahkan Batara Guru dan ikut mengabdi di Jonggring Saloka bersama sama Semar dan Togog , ternyata ybs memiliki sifat suka bersenda gurau dan bercanda, namun terkadang  agak melewati batas. Sampai suatu ketika Kaneka Putra dianggap keterlaluan oleh Batara Guru dalam mengejek rupa dan penampilan Semar & Togog pada suatu pembicaraan serius, sehinga keluar supata Manikmaya yg mengakibatkan penampilan Kaneka Putera yg semula tampan dan rupawan berubah menjadi mirip Semar dan Togog. Sejak saat itu Batara Kaneka Putera diberi nama Batara Narada. Ia  mendampingi Manikmaya dalam tugas sehari hari di Kahyangan sebagai penasihat.

Dalam kisah wayang purwa juga diceritakan tentang penyerbuan dua jin bersaudara bernama Mercukali dan Mercukilan. Namun, kesaktian dua jin ini ternyata cukup diatasi oleh Semar. Setelah dikalahkan oleh Semar dan berubah ujud menjadi berpenampilan tidak lagi menyeramkan, mereka dianggap anak oleh semar dan diberi nama Gareng dan Petruk. Ini adalah awal dari gagasan munculnya tokoh punakawan  yg tidak ada di versi India.

Sumber: Kosasih, Ardisoma

Ismaya, Antaga & Manikmaya

Menurut yang empunya cerita, Kahyangan yang terletak di puncak gunung Mahameru adalah tempat para dewata bersemayam. Dari tempat megah yg disebut juga Jonggring Saloka inilah diawasi kehidupan manusia yg tersebar di Mayapada. Tidak jauh dari Mahameru ini terdapat sebuah kawah yg bernama Candradimuka, tempat melebur dosa para angkara murka, serta memberi pertanda apabila terdapat terjadi peristiwa buruk di Mayapada.

Sang Hyang Tunggal adalah dewa yg bertakhta di Kahyangan ini, yang beristrikan dewi Wardani. Suatu ketika, hari hari berlalu dengan sering terdengar alunan indah gamelan yg terdengar mengalun sayup turun ke lembah lembah, pertanda San Hyang Tunggal dan permaisurinya sedang dalam suasana yg amat bahagia. Rupanya, dewi Wardani tengah berbadan dua. Ah, betapa berbunga bunganya harapan yg ada dalam hati mereka untuk segera menimang putera, penerus tugas di Jonggring Saloka ini.

Namun, setelah tiba waktunya, apa yg terjadi? Ternyata dari sang dewi tidak terlahir seorang manusia sebagaimana lazimnya, namun keluar sebutir telu sebesar buah kelapa. Betapa terkejutnya suami istri itu melihat kenyataan yg pahit ini. Tiap hari dewi Wardani hanya menangis meratapi nasibnya. Sementara sang Hyang Tunggal dengan tabah terus berdoa dan bertapa minta petunjuk pada sang leluhur dan Yang Kuasa atas peristiwa ini, sebab pada akhirnya memang mereka harus menerima takdir yg sudah digariskan.

Setelah telur itu semakin besar dan mencapai ukuran sebesar tempayan, maka pecahlah telur tsb, menjadi tiga bayi laki laki yang sehat. Bayi yg pertama, berasal dari kulit telur, diberi nama Sang Hyang Ismaya, membawa sifat jujur dan berani serta selalu bergembira. Yg kedua, dari putih telur, bernama Sang Hyang Antaga, kadang menunjukkan sifat irihati & agak pengecut, namun selalu jantan & konsekwen menerima kesalahan. Yg terakhir berasal dari kuning telur, dinamakan Sang Hyang Manikmaya, amat cerdas meskipun agak sombong.

Ketiga anak ini tumbuh dan semakin dewasa semakin tampak rupawan. Ternyata terlihat bahwa Ismaya yang paling sakti diantara ketiganya, namun tetap rendah hati. Antaga, kesaktiannya hampir menyamai Ismaya namun kadang agak ugal ugalan. Sedang Manikmaya meski tidak sesakti kedua saudaranya tapi amat pandai dalam memecahkan segala persoalan sehari hari.

Suatu hari ketiga pemuda bersaudara ini terlibat dalam adu mulut. Perdebatan berawal dari pendapat masing masing yg merasa lebih penting dari yg lain, terkait asal usul mereka yg berasal dari sebutir telur dahulu. Ismaya berpendapat bahwa kulit telur adalah yg paling utama, tanpa kulit maka isi telur tidak akan mampu mempertahankan hidupnya dari gangguan luar. Antaga merasa bahwa putih telur adalah sumber kehidupan telur itu sendiri, tanpanya, kulit tidak berarti apa2 dan kuning telur tidak akan bisa bertahan hidup karena tidak ada sumber makanan. Sementara Manikmaya bersikukuh bahwa kuning telur adalah ruh dari kehidupan telur itu sendiri. Perdebatan berkepanjangan dan berlarut larut namun pada akhirnya hanya melibatkan Ismaya dan Antaga saja, sedang Manikmaya hanya tersenyum senyum saja menyaksikan pertengkaran kedua saudaranya itu. Lama kelamaan pertengkaran berkembang menjadi pertikaian fisik yg berlanjut diluar Jonggring Saloka. Perkelahian kedua remaja ini berubah menjadi adu kesaktian yg menggemparkan, sampai sampai keduanya mengeluarkan segala kesaktian yg dimiliki dengan antara lain mengubah fisik mereka menjadi makhluk makhluk sebesar bukit yg menyeramkan, namun tetap saja pertarungan berjalan seimbang, tidak ada yg bisa mengalahkan satu oleh lainnya.

Akhirnya, kedua seteru ini sepakat untuk menentukan siapa pemenangnya dengan cara menunjukkan kemampuan menelan sebuah bukit yg ada di dekat mereka bertempur. Sementara itu, pertarungan Ismaya & Antaga ini meski sudah berlangsung di luar Kahyangan namun mengakibatkan bergemuruh dan bergolaknya kawah Candradimuka, sebagai tanda bahwa sesuatu yg tidak semestinya tengah berlangsung. Hal ini menyebabkan ayahanda mereka Sang Hyang Tunggal murka dan mengutuk kelakuan kedua puteranya ini. Tatkala Antaga mencoba menelan bukit untuk membuktikan kesaktiannya itu dan tidak berhasil, maka mulutnya menjadi amat lebar. Sedang Ismaya meski berhasil menelan bukit tsb namun giginya rontok dan tinggal sebuah saja, sementara perutnya menjadi buncit. Keduanyapun  menghentikan perseteruan itu dan mengubah fisik mereka kembali dari bentuk raksasa yg tinggi besar menjadi ukuran manusia normal, namun ternyata mereka gagal mengembalikan bentuk badan mereka menjadi seperti sediakala. Perut Ismaya tetap buncit, wajahnya amat buruk dengan gigi hanya satu di bagian bawah depan. Sedang Antaga tidak kalah buruknya dengan mulut amat lebar tidak proporsional.

Ketiga bersaudara ini menyesali kelakuan mereka dan segera menghadap Sang Hyang Tunggal sambil menangis, minta ampun dan minta dikembalikan pada kerupawana semula

Sumber: Kosasih, Ardisoma