Minggu, 20 Februari 2011

Arjuna Sasrabahu

Di kerajaan Maespati, bertakhta seorang raja yg adil & bijaksana bernama Arjuna Sasrabahu. Ia adalah cucu dari pendiri kerajaan Maespati, Prabu Heriya, yg merupakan saudara kandung dari Resi Wisanggeni. Dalam cerita Bambang Sumantri, karena sejak kecil Sumantri & adiknya -Sukasrana- diasuh oleh Wisanggeni maka Wisanggeni sering disebut sebut sebagai ayahanda dari Sumantri & Sukasrana, meski sesungguhnya Sumantri adalah cucunya, sebab dua kakak beradik berlainan rupa itu adalah putera dari Resi Suwandagni, salah satu putera Wisanggeni. Karena itu pula ketika Sumantri ingin berkelana meninggalkan padepokannya & mengabdi pada seorang raja, Wisanggeni mengharuskannya pergi ke Maespati untuk mengamalkan segala ilmunya, pada Arjuna Sasrabahu yg masih terhitung sepupunya.

Arjuna Sasrabahu yg digambarkan sebagai seorang yg tampan dan kharismatik dengan kulit berwarna kemerahan ini adalah titisan batara Wisnu. Sorot matanya tajam dan sinar wajahnya menawan. Bila ia menghendaki, atau sedang dalam kemarahan yg luar biasa, ia bisa bertiwikrama, yaitu berubah ujud menjadi rasaksa setinggi bukit. Ia amat sakti mandraguna, tak terkalahkan oleh manusia, bahkan dewata sekalipun. Meskipun demikian, ia termasuk raja yang cinta damai, selalu berusaha menyelesaikan setiap persengketaan dengan musyawarah. Karena itulah wibawanya memancar keseluruh penjuru dan negara-negara taklukannya.

Suatu ketika di sebuah kerajaan yg bernama Magada diadakan sayembara untuk memperebutkan dewi Citrawati yg amat cantik jelita. Sayembara diselenggarakan karena putri negeri Magada ini dipinang oleh raja raja lebih dari seribu negara. Citrawati merupakan titisan Bhatari Sri Widowati, salah satu bidadari dari kahyangan. Arjuna Sasrabahu berpikir, mungkinkah untuk mendapatkan Dewi Citrawati ia harus berperang melawan sekian banyak raja saingannya yg dapat berakibat membunuh ribuan prajurit tak berdosa? Seorang diri ia mampu melakukan hal itu tetapi tindakan itu bertentangan dengan hati nuraninya yang cinta damai. Sementara itu, menempuh pinangan dengan cara damai adalah suatu hal yang sulit dilaksanakan karena lebih dari seribu raja dari berbagai negara lain juga sangat menginginkan Dewi Citrawati untuk menjadi istrinya.

Dari sekian banyak raja yang menginginkan Dewi Citrawati itu, Prabu Darmawisesa dari negeri Widarba, merupakan raja yang sangat berpengaruh dan ditakuti. Ia bersama lebih dari tujuh puluh lima raja sekutunya lengkap dengan ribuan prajuritnya, telah mengepung negara Magada dari berbagai penjuru. Tujuannya jelas. Bila lamarannya terhadap Dewi Citrawati ditolak, Prabu Darmawisesa akan merebutnya dengan kekerasan.

Tatkala Prabu Arjuna Wijaya dalam kebimbangan untuk menentukan sikap, tibalah Bambang Sumantri dari padepokan Ardisekar menghadap untuk mengabdikan diri di negara Maespati. Melihat kesungguhan hati dan kemantapan tekad Sumantri, Prabu Arjuna Sasrabahu bersedia menerima pengabdian Sumantri dengan satu persyaratan, Sumantri harus berhasil menjadi utusan pribadinya dan duta resmi Negara Maespati melamar dan memboyong Dewi Citrawati ke negara Maespati.

Persyaratan itu langsung diterima oleh Bambang Sumantri. Dengan kesaktiannya, tanpa melibatkan para prajurit dari kedua belah pihak, lewat pertempuran yg sengit Sumantri akhirnya dapat menaklukkan Prabu Darmawisesa sekaligus para raja lainnya dan memenuhi persyaratan perkawinan Dewi Citrawati berupa Putri Domas yg berjumlah 800 orang, dan berhak memboyong Dewi Citrawati dari Magada ke Maespati.

Namun dalam perjalanan pulang sebelum memasuki Maespati, Sumantri memerintahkan seluruh rombongan berhenti di perbatasan dan mendirikan perkemahan. Mendadak timbul gagasan pada diri Sumantri untuk membuktikan kesaktian Arjuna Sasrabahu. Tak seorangpun mengetahui dengan pasti, apakah niat ini muncul dari sisi manusiawi seorang lelaki yg dalam keadaan diselimuti rasa bangga berlebihan telah mengalahkan sekian banyak raja yg sakti, terbersit rasa ingin menguasai seorang wanita yg amat menawan yang sedang dalam genggamannya? Atau, sekedar menguji dan mengukur kesaktian dirinya sebagai seorang yg baru turun dari padepokan di pucuk gunung sana?

Yang jelas, Sumantri mengajukan persyaratan lewat surat yg dikirim melalui seorang utusan kepada Prabu Arjuna Sasarabahu agar menjemput sendiri Dewi Citrawati di perbatasan kota dengan cara seorang satria, bila berhasil mengalahkan Sumantri dalam satu peperangan. "Mohon Sri Paduka jangan salah mengerti akan sikap hamba serta menduga yang tidak-tidak, terutama mengenai diri dan itikad hamba. Sedikitpun tak terbersit di hati suatu niat atau keinginan untuk memperistri Tuan Puteri Dewi Citrawati, karena hamba sudah berprasety sejak dulu untuk hidup sebagai satria pinandhita tidak akan menikah seumur hidup. Karena itulah hamba tidak rela menyerahkan putri ulama seperti Dewi Citrawati begitu saja, layaknya seorang raja taklukkan menyerahkan seorang putri sebagai upeti. Hamba ingin Dewi Citrawati direbut dengan peperangan layaknya seorang raja. Hamba berharap peperangan ini akan meningkatkan pamor dan kewibawaan Paduka, bukan saja kepada Dewi Citrawati dan sekalian para putri domas yang berjumlah 800 orang, tetapi juga terhadap para raja dari lebih seribu negara diluar sana, demikian antara lain isi surat Sumantri pada Arjuna Sasrabahu. Merekalah yang akan menjadi saksi sejarah keperkasaan dan kebesaran Paduka. Karena itulah hamba berharap perang tanding diantara kita harus berlangsung dahsyat dan hebat...".

Surat yg disampaikan Bambang Sumantri kepada Arjuna Sasrabahu agar menjemput  sendiri Dewi Citrawati dengan cara 'merebut' dari Sumantri di perbatasan, ditanggapi Sasrabahu dengan kelapangan dada. Dalih Sumantri agar di mata khalayak terbukti kesaktian Sasrabahu dengan melalui peperangan utk tidak menjadikan calon istrinya ini hanya sekedar upeti yg diserahterimakan, disikapi dengan tenang. Berarti, ia harus maju untuk berhadapan dengan Sumantri yg berhasil menyelesaikan tugasnya memboyong Dewi Citrawati dari Magada beserta 800 Putri Domasnya.

Apa yang diinginkan Sumantri menjadi kenyataan. Terjadi perang yg dahsyat antara Prabu Arjuna Sasrabahu melawan Sumantri di lapangan maha luas yang terbentang diantara pegunungan Salva dan Malawa, di perbatasan negara Maespati. Para brahmana dan pujangga melukiskan, peperangan ini merupakan perang maha besar yg pernah terjadi sepanjang alam raya gumelar. Suasana perang ini lebih hebat dan lebih dahsyat daripada perangnya Kumbakarna melawan Prabu Sugriwa yang dibantu Hanoman dan jutaan laskar kera dalam kisah Ramayana, atau perangnya Prabu Rama Wijaya melawan Prabu Rahwana dalam perang Alengka. Perang itu juga lebih dahsyat dan mencekam dari pada perang tanding antara Arjuna melawan Adipati Karna atau perangnya Resi Bhisma melawan Resi Seta, atau perangnya Bima melawan Prabu  Duryudana dalam perang Bharatayudha, bahkan lebih dahsyat dari keseluruhan perang Bharatayudha itu sendiri.

Perang tanding antara Prabu Arjuna Sasrabahu melawan Bambang Sumantri juga terasa agung dan indah. Mereka tampil dengan pakaian kebesaran seorang senapati yang serba sama baik warna maupun bentuknya. Mereka juga menyandang gendewa perang lengkap dengan anak-anak panah saktinya. Bentuknya sama satu dengan lainnya, hanya warna tali selempang gandewa yang berbeda. Selempang gandewa Sasrabahu berwarna merah, sedangkan selempang gandewa Sumantri berwarna kuning gading. Mereka juga sama-sama menaiki kereta perang kadewatan yang masing-masing ditarik oleh empat ekor kuda. Sasrabahu menaiki kereta perang milik Dewa Wisnu yang sengaja didatangkan dari Kahyangan Untarasegara, ditarik empat ekor kuda berbulu hitam dan putih. Sedangkan Sumantri menaiki kereta perang milik Prabu Citragada, yang ditarik empat ekor kuda berbulu merah dengan belang putih pada keempat kakinya. Kereta ini dahulu merupakan kereta perang kadewatan milik Bhatara Indra yang diberikan kepada Prabu Citragada, raja negara Magada. Tak ayal lagi, kedua kereta perang itu memiliki bentuk, kemewahan dan keagungan yang hampir sama. Perbedaannya hany terletak pada pariji perang yang tertancap berkibar di bagian buritan kereta. Panji perang Sasrabahu berwarna kuning emas dengan lambang burung garuda yang siap menerkam lawan, sedangkan panji perang Sumantri berwarna putih denga lambang ular naga tegak berdiri dengan mulut terbuka dan lidah bercabang menjulur ke luar siap mematuk lawan.

Keagungan semakin nampak manakala kedua kereta perang mereka telah saling berhadapan. Mereka tak ubahnya Bhatara Asmara dan Bhatara Candra yang sedang saling berhadapan. Kebesaran dan kedahsyatan perang tanding antara Sasrabahu melawan Sumantri, selain karena arena peperangan yang demikian luas, jumlah serta mereka yang menyaksikan, juga kehebatan pameran kesaktian dan tata gelar perang yang mereka peragakan. Perang tanding itu berlangsung di sebuah padang tandus yang sangat luas, yang membentang antara pegunungan Salva dan Malawa. Disaksikan oleh Dewi Citrawati, wanita titis Bhatari Sri Widowati beserta 800 wanita pengiringnya (putri domas), ribuan dayang, lebih dari seribu raja dan  permaisurinya, lengkap dengan para patihnya dan hulubalang kerajaan, ribuan rakyat Maespati, jutaan prajurit dari lebih seribu negara dan juga disaksikan oleh ratusan dewa dan hapsara-hapsari yg dipimpin langsung oleh Bhatara Narada dan Bhatara Indra yang sengaja turun dari Kahyangan Jonggring Saloka dan Kahyangan Ekacakra.

Berbagai tata gelar perang juga diperagakan dalam perang tanding ini. Dari tata perkelahian tangan kosong, gelar perang keris, tombak dan trisula, juga tata gelar perang kereta disertai ketrampilan menguasai kuda dan kereta, serta kemahiran memainkan anak panah. Kelak mereka baru menyadari, bahwa apa yang diperagakan oleh Sasrabahu dan Sumantri, sesungguhnya merupakan pelajaran tata gelar dan teknik peperangan maha tinggi yang hanya bisa diperagakan oleh Dewa Wisnu dan Dewa Surapati, yang tidak akan terulang lagi sepanjang masa.

Berbagai ilmu kesaktian dan senjata sakti diperagakan dan gumelar dalam perang tanding ini. Ketika senjata sakti panah Dadali milik Sumantri lepas dari busurnya dan begitu melesat di udara pecah menjadi ribuan anak panah dengan pamor berujud bara api menyala merah, Sasrabahu segera melepaskan senjata sakti panah Tritusta. Begitu lepas dari busurnya, panah tersebut pecah menjadi ribuan anak panah yang pamornya memancarkan cahaya keputihan. Ribuan anak panah dari kedua belah pihak itu saling bertempur dahsyat di udara, tak ubahnya orang yang sedang berperang. Saling tangkis, saling menyambar dan saling mengejar serta
saling menyerang. Benturan keras kedua senjata itu sesantiasa menimbulkan dencing suara yang memekakkan telinga.

Melihat pertempuran ribuan anak panah yang tiada akhir itu, Sasrabahu segera melepaskan panah angin, yang begitu melesat di udara menimbulkan angin besar yang menyapu habis sernua anak panah tersebut. Menghadapi kenyataan itu, Sumantri segera melepaskan panah Bojanggapasa, yang begitu melesat ke udara
memecah menjadi jutaan ular naga yang memenuhi arena pertempuran. Untuk mengetahui keampuhan pusaka lawan, Prabu Sasrabahu segera melepas panah sakti Paksijaladra. Seketika di udara muncul jutaan burung garuda, terbang menukik menyambar ular-ular naga ciptaan Sumantri. Bagaimanapun, akhirnya Sumantri memang harus mengakui keunggulan dan kesaktian Sasrabahu.

Akhir dari perang tanding tersebut, memberi pengaruh sangat besar bagi citra Prabu Arjunasasrabahu. Kini yakinlah semua orang, bahwa ia benar2 sosok seorang raja penjelmaan Dewa Wisnu. la dikenal sebagai raja maha sakti dan kewibawaannya memancar ke seantero jagad raya. Para raja yang sejak semula sudah tunduk dan bersekutu dengan kerajaan Maespati, kini semakin menghormatinya. Sementara para raja yang dahulunya ragu untuk tunduk dan bersatu, kini dengan sukarela menyatakan bernaung dibawah panji kebesaran negara Maespati.

Di bawah pemerintahan Prabu Arjunasasrabahu dengan patihnya Suwanda --gelar untuk Sumantri setelah diangkat menjadi patih--, Maespati berkembang menjadi negara adikuasa yang menguasai hampir dua-pertiga jagad raya. Meski demikian, Sasrabahu tetap memerintah dengan sikap yang adil dan arif bijaksana. Prabu Arjunasasrabahu dikenal sebagai raja yang cinta damai dan selalu berusaha menyelesaikan perselisihan dengan negara tetangga secara musyawarah. Dialah raja yang melaksanakan prinsip dan semboyan perdamaian; Sugih tanpo bondho, ngruruk tanpo bolo, Menang tanpo angasorake. (kaya tanpa harta benda, menyerang tanpa prajurit, menang tanpa merasa mengalahkan).

Prabu Arjunasasrabahu adalah Maharaja terbesar yang pernah ada di jagad raya pewayangan. la tidak hanya memerintah hampir duapertiga luas jagad raya dan membawahi lebih dari dua ribu raja dari berbagai negara, tetapi ia juga seorang raja yang hidup dengan seorang permaisuri, Dewi Citrawati, dan lebih dari 800 orang selir. Karena itu tak mengherankan apabila sebagian besar penghuni istana Maespati adalah wanita-wanita cantik, sehingga keadaan taman keputrian istana Maespati tak ubahnya kahyangan Ekacakra, tempat bersemayamnya para bidadari.

Sumber: wikipedia, sudarjanto.multiply.com, oerip